KBOBABEL.COM (PANGKALPINANG) — Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang ayah selain melihat impian anaknya runtuh, terlebih ketika harapan itu dibangun di atas jerih payah bertahun-tahun dan berujung pada kehancuran keluarga. Itulah yang dialami oleh PN (40), warga Belinyu, Kabupaten Bangka, yang menjadi korban penipuan berkedok “jalur belakang” masuk Akademi Kepolisian (Akpol). Uang setengah miliar rupiah lebih yang telah ia kumpulkan habis ditelan tipu daya seorang pria yang mengaku punya koneksi kuat di internal Polri. Selasa (24/6/2025).
Kasus ini mencuat setelah PN melaporkan peristiwa yang dialaminya ke Polda Kepulauan Bangka Belitung pada September 2024. Setelah penyelidikan intensif, pelaku yang bernama Didik Irjanto (61), warga Kampung Malang Utara, Kecamatan Tegal Sari, Kota Surabaya, akhirnya ditangkap dan kini mendekam di tahanan.
Kepada Jejaring Media KBO Babel, PN membagikan cerita pilu yang menggambarkan bagaimana harapan bisa berubah menjadi bencana, dan bagaimana satu keputusan keliru bisa menghancurkan tidak hanya tabungan, tetapi juga tatanan rumah tangga.
“Saya Cuma Ingin Anaknya Berhasil”
Ditemui di sebuah warung kopi di kawasan Pangkalpinang, Selasa (24/6), PN datang mengenakan pakaian sederhana. Di hadapan tim KBO Babel, ia berulang kali menarik napas panjang. Matanya sembab, suaranya berat. Tak sulit melihat bahwa luka yang ia bawa bukan hanya soal uang, tetapi juga martabat, harga diri, dan keutuhan rumah tangganya.
“Saya cuma ingin anak saya berhasil. Saya ingin dia punya masa depan yang lebih baik, bukan jadi seperti saya,” katanya pelan.
Anaknya, kata PN, termasuk yang berprestasi. Lulus SMA dengan nilai bagus dan punya fisik prima. Ia lolos dalam beberapa tahapan seleksi Akpol 2024. Namun ketatnya persaingan membuat PN khawatir. Ia takut anaknya gagal di tahap akhir, dan itulah yang mendorongnya mencari jalan pintas.
“Saya hanya takut gagal. Saya tahu ini salah, tapi waktu itu saya pikir saya hanya membantu membuka jalan,” ucapnya lirih.
Perkenalan dengan Penipu dan Surat Rekomendasi Palsu
Segalanya dimulai ketika PN berbicara dengan seorang kenalan lama bernama Candiawan. Dalam pertemuan itu, PN mengutarakan kecemasannya soal seleksi Akpol. Candiawan kemudian menyebut seorang pria yang disebutnya “punya jalur” — orang yang bisa “mengatur kelulusan” dengan syarat ada dana untuk “kondisikan pihak-pihak terkait”.
Pria itu adalah Didik Irjanto. Dalam komunikasi awal, Didik tampil meyakinkan. Ia mengaku sebagai murid dari tokoh agama ternama, Al-Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, dan bahkan menunjukkan surat rekomendasi resmi berlogo sebuah organisasi keagamaan yang diklaim berada di bawah naungan Habib Luthfi. Surat itu ditujukan kepada Kapolri, seolah menjadi ‘garansi’ kelulusan.
“Saya lihat suratnya, ada stempel, kop resmi, dan tandatangan. Saya percaya. Siapa yang tidak percaya kalau surat seperti itu disodorkan?” ungkap PN.
Dalam surat itu disebutkan bahwa Didik adalah orang yang direkomendasikan sebagai “penghubung komunikasi” antara pihak keluarga calon Taruna dan institusi. Semua dikemas dalam bahasa yang sangat halus dan religius.
Rp530 Juta untuk Harapan yang Hancur
Didik kemudian menyusun “alur pembayaran” yang harus diikuti PN. Mulai dari dana administrasi, dana penguatan psikotes, fisik, dan terakhir dana utama untuk “pengkondisian” panitia pusat. Total semua itu mencapai Rp530 juta, yang disetor PN secara bertahap antara Juni hingga Agustus 2024.
“Itu semua tabungan keluarga saya. Termasuk uang simpanan istri saya, tanah warisan yang saya jual, dan uang yang semula disiapkan untuk kuliah anak saya kalau gagal Akpol,” ujar PN dengan suara bergetar.
Namun, pada 20 Agustus 2024, kenyataan pahit tak bisa lagi ditutupi. Anak PN dinyatakan tidak lolos seleksi Akpol. Ia mencoba menghubungi Didik, tapi semua akses komunikasi terputus. Nomor WhatsApp diblokir, panggilan tak dijawab, dan Candiawan pun tiba-tiba tak bisa dihubungi.
“Saya merasa seperti dilempar ke jurang gelap. Tidak hanya ditipu, tapi juga dipermalukan di hadapan keluarga saya sendiri,” ujarnya.
Dampak Keluarga dan Laporan ke Polisi
Tak hanya kehilangan uang, PN juga menghadapi keretakan dalam rumah tangganya. Istrinya marah besar, dan menyalahkan PN karena mengambil keputusan sepihak tanpa persetujuan keluarga.
“Sekarang kami bahkan tidur di kamar terpisah. Komunikasi nyaris tidak ada. Saya tahu saya salah, dan itu yang paling menyiksa,” kata PN, menunduk.
Setelah pertimbangan panjang dan dorongan dari kerabat dekat, PN akhirnya melapor ke Polda Babel. Polisi bergerak cepat, melakukan pelacakan digital, dan akhirnya menangkap Didik Irjanto. Pelaku saat ini tengah menjalani pemeriksaan intensif, dan polisi juga mendalami dugaan adanya jaringan lain dalam kasus ini.
“Kami sedang selidiki keaslian surat rekomendasi yang digunakan pelaku. Jika terbukti palsu, ini bisa dikenakan tambahan pasal pemalsuan dokumen,” ungkap salah satu penyidik.
Imbauan dan Refleksi
Kepada masyarakat luas, kasus ini menjadi pengingat keras bahwa tidak ada jalan pintas menuju keberhasilan sejati. Proses seleksi institusi seperti Akpol sudah didesain transparan dan terukur, serta memiliki mekanisme pengawasan internal yang ketat.
“Masyarakat diimbau untuk tidak mudah percaya pada pihak-pihak yang menjanjikan kelulusan dengan imbalan uang. Ini bisa merugikan dan justru berujung pidana,” tegas perwira penyidik yang menangani kasus ini.
Sementara itu, Jejaring Media KBO Babel masih berupaya menghubungi Kabid Humas Polda Babel untuk mendapatkan pernyataan resmi. Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan lanjutan terkait apakah pelaku memiliki keterkaitan dengan pihak internal Polri atau hanya bermain tunggal dengan memanfaatkan nama besar dan simbol-simbol keagamaan.
Penutup: Harga yang Terlalu Mahal untuk Sebuah Impian
Kasus PN adalah gambaran betapa mahalnya harga yang harus dibayar ketika harapan dibangun di atas kebohongan. Bukan hanya uang yang hilang, tetapi juga martabat dan keharmonisan keluarga.
“Saya tak ingin ada orang tua lain yang bernasib seperti saya. Sekali salah langkah, semua bisa hancur. Jangan pernah serahkan nasib anak pada penipu berseragam kata-kata manis,” pesan PN sebelum meninggalkan warung kopi tempat kami berbincang.
Kini, bukan lagi soal Akpol atau kelulusan. PN hanya ingin membangun kembali kepercayaan dalam keluarganya—yang mungkin lebih sulit daripada mengumpulkan kembali setengah miliar rupiah.