MK Diminta Wajibkan Pilkada Dua Putaran Jika Tak Capai 50 Persen Suara

Gugat Ambang Legitimasi Pilkada, Aktivis Hukum Minta MK Kembalikan Syarat 50 Persen Suara

banner 468x60
Advertisements

KBOBABEL.COM (JAKARTA) – Kekhawatiran atas legitimasi kepala daerah terpilih yang hanya meraih sedikit dukungan pemilih mendorong tiga warga negara menggugat Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan uji materi yang diajukan oleh aktivis hukum Terence Cameron, bersama dua warga lainnya, Geszi Muhammad Nesta dan Adnisa Prettya, menyoal ketiadaan ambang batas suara minimal bagi pasangan calon kepala daerah untuk dapat ditetapkan sebagai pemenang dalam Pilkada.Rabu (16/7/2025).

Dalam sidang pendahuluan yang digelar di Ruang Sidang MK Jakarta pada Selasa (16/7/2025), para Pemohon menggugat ketentuan dalam Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016. Mereka menilai, ketentuan tersebut inkonstitusional karena memungkinkan pasangan calon (paslon) terpilih meski hanya memperoleh suara dalam jumlah kecil, bahkan di bawah 10 persen, asalkan terbanyak di antara paslon lainnya.

banner 336x280

“Kondisi ini membuka peluang terpilihnya calon kepala daerah yang sesungguhnya tidak dikehendaki oleh mayoritas pemilih. Ini tidak hanya mencederai prinsip demokrasi, tetapi juga menghadirkan pemimpin yang lemah secara legitimasi,” ujar Terence Cameron di hadapan Majelis Hakim Konstitusi.

Menurut para Pemohon, keberadaan banyak paslon dalam Pilkada tanpa disertai ambang batas minimal perolehan suara memperbesar potensi fragmentasi suara. Akibatnya, kepala daerah bisa saja terpilih dengan dukungan yang sangat minim dan tidak mencerminkan kehendak kolektif warga.

Dalam permohonannya, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU 10/2016 bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Ketiga pasal konstitusi tersebut menjamin pelaksanaan demokrasi yang adil, kepastian hukum, dan pemerintahan yang sah menurut kehendak rakyat.

 Sejarah Ambang Batas yang Dihapus

Para Pemohon juga menyinggung perubahan drastis yang terjadi dalam UU Pilkada. Dalam versi sebelumnya, yakni UU Nomor 12 Tahun 2008, paslon kepala daerah harus memperoleh lebih dari 50 persen suara untuk dapat ditetapkan sebagai pemenang. Jika tidak terpenuhi, maka digelar pemilihan putaran kedua antara dua paslon teratas.

Namun, mulai UU Nomor 8 Tahun 2015 hingga yang berlaku saat ini (UU 10/2016), ketentuan itu dihapus. Paslon yang memperoleh suara terbanyak otomatis dianggap pemenang, terlepas dari besar kecilnya persentase dukungan.

“Perubahan ini tidak didasari parameter yang jelas. Tidak ada penjelasan akademik atau alasan normatif yang kuat. Ini adalah bentuk ketidakpastian hukum dan kemunduran demokrasi,” tegas Geszi Muhammad Nesta, salah satu Pemohon.

Mereka bahkan mengingatkan pada risiko absurd hasil pemilu. Dengan sistem yang berlaku sekarang dan ambang batas pencalonan yang telah diturunkan Mahkamah dalam putusan sebelumnya menjadi 6,5–10 persen suara sah DPRD, bisa saja paslon kepala daerah hanya menang dengan perolehan suara 6,67 persen di tengah banyaknya kontestan.

Kembali ke Prinsip Legitimasi Mayoritas

Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK untuk menafsirkan ulang Pasal 107 dan 109 agar hanya paslon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen yang dapat ditetapkan sebagai pemenang. Jika tidak ada yang meraih suara mayoritas tersebut, maka harus diadakan putaran kedua antara dua paslon teratas.

“Ini bukan hanya soal menang atau kalah, tetapi soal kepemimpinan yang didasarkan pada mandat kuat dari rakyat. Tanpa itu, proses demokrasi kehilangan makna substantifnya,” ujar Adnisa Prettya.

 Catatan Majelis Hakim MK

Perkara Nomor 110/PUU-XXIII/2025 ini disidangkan oleh Majelis Panel Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, didampingi oleh Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Arsul Sani.

Dalam pandangannya, Hakim Konstitusi Arsul Sani meminta para Pemohon agar lebih tajam dalam mengelaborasi secara argumentatif pertentangan antara pasal-pasal yang diuji dengan pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji.

“Jangan hanya menyimpulkan secara umum dan menyerahkan kepada kami untuk berpikir. Anda yang harus menjelaskan secara argumentatif, kami menilai kekuatan pemikiran konstitusional Anda,” ujar Arsul.

Sementara itu, Saldi Isra memberikan tenggat waktu 14 hari kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonan mereka, dengan batas akhir pengajuan perbaikan pada Senin, 28 Juli 2025 pukul 12.00 WIB.

 Dukungan Publik dan Tantangan Legislatif

Permohonan uji materi ini mendapatkan perhatian luas dari kalangan pengamat politik dan masyarakat sipil yang menyoroti lemahnya legitimasi dalam pilkada-pilkada yang berlangsung dengan hasil suara sangat terpecah. Mereka menilai, dalam konteks demokrasi lokal, pemimpin daerah yang tidak didukung mayoritas akan sulit menjalankan pemerintahan secara efektif.

Namun di sisi lain, tantangan juga muncul dari sisi politis. Sebab, logika politik pragmatis seringkali lebih menyukai sistem satu putaran, karena dianggap lebih cepat dan efisien, meski mengorbankan prinsip keterwakilan yang ideal.

Jika permohonan ini dikabulkan Mahkamah, maka sistem pilkada Indonesia akan kembali mengenal pemilihan dua putaran, setidaknya dalam kondisi ketika tidak ada satu pun paslon meraih suara mayoritas. Hal ini akan membawa dampak besar tidak hanya bagi regulasi, tetapi juga strategi politik dan penganggaran pemilu ke depan.

Kini, publik menanti, apakah Mahkamah Konstitusi akan berdiri di sisi substansi demokrasi dan legitimasi mayoritas, atau mempertahankan sistem pragmatis yang berisiko menghadirkan pemimpin minim mandat. Putusan Mahkamah nantinya akan menjadi penentu arah masa depan demokrasi lokal di Indonesia. (Mung Harsanto/KBO Babel)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *