KBOBABEL.COM (JAKARTA) — Jaksa Penuntut Umum (JPU) meminta majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menolak seluruh nota keberatan atau eksepsi yang diajukan oleh terdakwa Marcella Santoso dan tiga terdakwa lainnya, yakni Ariyanto, Junaedi Saibih, serta Muhammad Syafei. Rabu (5/11/2025)
Keempat terdakwa tersebut merupakan pihak yang diduga terlibat dalam kasus dugaan suap terhadap majelis hakim yang menangani perkara korupsi korporasi penerima fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) serta tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai lebih dari Rp 52 miliar.
Dalam sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Tipikor, Rabu (5/11/2025), jaksa menyatakan bahwa seluruh dalil yang disampaikan oleh penasihat hukum para terdakwa telah masuk ke ranah pokok perkara dan bukan termasuk dalam ruang lingkup eksepsi sebagaimana diatur dalam Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Memohon agar majelis hakim yang mengadili dan memeriksa perkara ini memutuskan, menyatakan bahwa keberatan eksepsi dari penasihat hukum terdakwa Marcella Santoso tidak diterima,” ujar salah satu jaksa saat membacakan tanggapan atas eksepsi di persidangan.
Jaksa menjelaskan, keberatan yang diajukan oleh tim kuasa hukum Marcella Santoso dkk menyinggung substansi perkara, mulai dari peristiwa penyiapan uang suap oleh terdakwa Muhammad Syafei selaku Legal Wilmar Group, komunikasi antara para terdakwa dengan Panitera Muda PN Jakarta Utara nonaktif Wahyu Gunawan, hingga dugaan adanya ketidaksesuaian antara dakwaan dan hasil penyidikan.
“Dalil keberatan penasihat hukum terdakwa telah begitu jauh masuk dalam materi pokok perkara, khususnya hal-hal yang menyangkut pembuktian perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Hal tersebut seharusnya diperiksa dalam tahap pembuktian melalui pemeriksaan saksi, ahli, surat, dan keterangan terdakwa,” kata jaksa melanjutkan.
Jaksa juga menilai bahwa uraian mengenai tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang disampaikan dalam eksepsi merupakan bagian dari materi pokok perkara yang harus dibuktikan di persidangan.
“Keberatan yang disampaikan penasihat hukum terdakwa menurut penuntut umum tidak termasuk dalam materi keberatan sebagaimana diatur Pasal 156 KUHAP dan sudah masuk dalam pokok perkara, sehingga harus dibuktikan berdasarkan alat bukti di depan persidangan,” tambahnya.
Dengan demikian, jaksa meminta majelis hakim untuk menolak seluruh nota keberatan dan melanjutkan proses persidangan ke tahap pembuktian.
Dugaan Pencucian Uang Rp 52,53 Miliar
Dalam berkas dakwaan yang dibacakan pada sidang sebelumnya, jaksa menyebutkan bahwa Marcella Santoso bersama Ariyanto dan Muhammad Syafei didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang dengan nilai mencapai Rp 52,53 miliar.
Dana tersebut diduga berasal dari dua sumber utama, yakni uang hasil suap kepada majelis hakim yang memberikan vonis lepas (onslag) kepada tiga korporasi penerima fasilitas ekspor crude palm oil (CPO), serta sebagian lain berasal dari fee atau honorarium penasehat hukum dalam perkara tersebut.
“Terdakwa Marcella Santoso telah melakukan atau turut serta melakukan dengan Ariyanto, menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atas harta kekayaan, yaitu uang dalam bentuk USD setara Rp 28 miliar yang dikuasai oleh Marcella Santoso, Ariyanto, dan M. Syafei,” ungkap Jaksa Andi Setyawan dalam persidangan pada 22 Oktober 2025.
Selain uang tersebut, Marcella dan rekan-rekannya juga diduga menyamarkan dana senilai Rp 24,53 miliar yang disebut berasal dari legal fee atau biaya jasa hukum yang diberikan oleh pihak korporasi. Dana ini diyakini masih terkait dengan hasil tindak pidana korupsi berupa suap kepada majelis hakim.
“Legal fee sebesar Rp 24.537.610.150,9 itu berasal dari hasil tindak pidana korupsi dalam perkara memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim agar perkara korupsi korporasi minyak goreng tersebut diputus dengan vonis onslag,” jelas jaksa.
Untuk menyembunyikan asal-usul uang, para terdakwa disebut menggunakan berbagai modus, antara lain dengan mencampurkan dana hasil kejahatan dengan uang sah, serta menyamarkan kepemilikan aset menggunakan nama perusahaan.
“Para terdakwa menggunakan nama perusahaan dalam kepemilikan aset dan mencampurkan uang hasil kejahatan dengan uang yang diperoleh secara sah,” ujar jaksa.
Atas perbuatannya, keempat terdakwa dijerat dengan Pasal 3 dan/atau Pasal 4 dan/atau Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Dugaan Suap Rp 40 Miliar untuk Majelis Hakim
Selain dakwaan TPPU, Marcella Santoso bersama Ariyanto, Muhammad Syafei, dan Junaedi Saibih juga diduga terlibat dalam kasus suap senilai Rp 40 miliar yang diberikan kepada majelis hakim yang memutus perkara tiga korporasi CPO besar, yakni Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
Uang suap tersebut diberikan agar majelis hakim menjatuhkan vonis lepas terhadap ketiga korporasi dalam perkara dugaan penyalahgunaan fasilitas ekspor crude palm oil. Berdasarkan dakwaan, dana suap itu kemudian dibagikan kepada lima orang yang tergabung dalam kluster pengadilan dan telah dituntut dalam berkas perkara terpisah.
Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar, Panitera Muda PN Jakarta Utara nonaktif Wahyu Gunawan menerima Rp 2,4 miliar, Ketua Majelis Hakim Djuyamto menerima Rp 9,5 miliar, sementara dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
Atas suap tersebut, majelis hakim yang dipimpin oleh Djuyamto akhirnya menjatuhkan putusan onslag atau lepas dari segala tuntutan hukum bagi tiga korporasi besar penerima fasilitas ekspor CPO itu.
Jaksa menilai perbuatan para terdakwa merupakan upaya sistematis untuk mempengaruhi proses peradilan demi keuntungan pribadi dan korporasi.
“Tindakan ini mencederai integritas lembaga peradilan dan menghambat upaya pemberantasan korupsi,” tegas jaksa.
Sidang lanjutan perkara ini akan kembali digelar dengan agenda pembuktian. Majelis hakim dijadwalkan memeriksa saksi-saksi serta alat bukti lain untuk mengungkap aliran dana dan keterlibatan masing-masing terdakwa dalam skema suap dan pencucian uang tersebut.
Publik kini menanti langkah tegas pengadilan dalam mengusut kasus ini hingga tuntas, mengingat perkara ini melibatkan jaringan antara pengacara, korporasi besar, dan aparat pengadilan yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan keadilan. (Sumber : Kompas.com, Editor : KBO Babel)



















