KBOBABEL.COM (JAKARTA) – Pidato Presiden Prabowo Subianto mengenai komitmen menertibkan tambang ilegal memantik reaksi keras dari kalangan masyarakat sipil. Dalam pidato kenegaraan di Gedung DPR/MPR pada 15 Agustus 2025 lalu, Prabowo menegaskan negara tidak akan gentar menghadapi para aktor besar yang membekingi tambang ilegal. Namun, pernyataan itu dianggap hanya sebatas retorika tanpa solusi nyata. Selasa (19/8/2025)
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dalam siaran persnya menilai, pidato Presiden justru tidak menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya.
“Pidato itu hanya berisi retorika kosong dan tidak menyentuh akar persoalan,” demikian pernyataan resmi JATAM.
Presiden memang mengutip Pasal 33 UUD 1945, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Akan tetapi, menurut JATAM, realitas selama puluhan tahun menunjukkan hal yang berbeda. Kekayaan alam memang dikuasai negara, tetapi hasilnya tidak kembali pada rakyat. Sebaliknya, segelintir korporasi besar justru yang menikmati keuntungan, baik melalui kedekatan dengan lingkaran istana maupun parlemen.
Tuduhan Pemerintah Tutup Mata
Dalam pidatonya, Presiden Prabowo berbicara lantang mengenai lebih dari seribu tambang ilegal yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah. Ia bahkan menegaskan tidak takut menghadapi “orang besar” yang melindungi praktik tersebut. Namun JATAM mempertanyakan konsistensi pemerintah.
“Jika memang pemerintah tidak gentar, mengapa praktik ini dibiarkan berlangsung bertahun-tahun, termasuk dalam masa kepemimpinan Prabowo?” ungkap JATAM.
Sejumlah nama aktor besar yang membekingi tambang ilegal, menurut JATAM, bukanlah rahasia lagi. Media berkali-kali melaporkan keterlibatan politisi, aparat keamanan, hingga mantan pejabat tinggi dalam bisnis kotor ini. Jaringan tambang ilegal bahkan disebut-sebut menggunakan perusahaan cangkang untuk menutupi praktik mereka.
“Telah banyak laporan investigasi yang menunjukkan bagaimana jaringan tambang ilegal ini beroperasi dengan perlindungan aparat dan restu pejabat tertentu,” tambah JATAM.
Lembaga advokasi tersebut menegaskan, bila Presiden benar-benar serius, maka pemerintah harus membuka daftar nama aktor besar tambang ilegal itu dalam waktu dekat.
“Jika Presiden benar serius, pihaknya akan membuka daftar nama pemain besar tambang ilegal itu dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam. Jika Prabowo tak ungkap, artinya pidato Presiden tidak lebih dari sekadar bacot kosong,” tegas JATAM.
Fakta di Babel: Tambang Ilegal Justru Semakin Subur
Apa yang disampaikan Presiden Prabowo juga dinilai bertolak belakang dengan kondisi di Bangka Belitung (Babel). Di provinsi ini, penyelundupan dan aktivitas tambang ilegal, khususnya timah, justru semakin marak. Indikasinya bahkan bukan hanya pengiriman antar pulau di dalam negeri, tetapi juga telah menembus jalur ekspor ke luar negeri.
Dalam pidatonya, Presiden menyebutkan akan menindak tegas 1.063 tambang ilegal yang diperkirakan merugikan negara hingga Rp 300 triliun. “Setelah ini kita akan tertibkan tambang-tambang yang melanggar aturan. Saya mendapat laporan dari aparat bahwa terdapat 1.063 tambang ilegal, dengan potensi kerugian negara minimal Rp 300 triliun,” kata Prabowo.
Ia menambahkan tidak akan ada kompromi terhadap aktor besar di balik bisnis tambang ilegal. “Saya beri peringatan, apakah ada orang-orang besar, orang-orang kuat, jenderal-jenderal dari TNI, dari kepolisian, atau mantan jenderal tidak ada alasan. Kami akan bertindak atas nama rakyat,” tegasnya.
Namun, fakta di lapangan di Babel menunjukkan kondisi berbeda. Penyelundupan timah dan praktik tambang ilegal tidak surut, bahkan semakin menjadi-jadi. Hal ini diperparah oleh ketiadaan kepastian hukum terkait izin pertambangan rakyat.
Regulasi dan Janji yang Tak Kunjung Terwujud
Menurut regulasi, pertambangan sejatinya hanya bisa dilakukan dengan izin resmi. Hal itu diatur dalam Pasal 35 ayat (3) UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Setiap pelaku usaha wajib memiliki izin, antara lain: Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB), hingga Izin Pengangkutan dan Penjualan.
Namun di Babel, IPR dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang kerap dijanjikan pemerintah justru tak pernah terealisasi. Padahal, masyarakat lokal sangat menantikan legalitas tersebut agar bisa menambang secara resmi tanpa harus bergantung pada jaringan tambang ilegal.
“Fakta di Babel, penyelundupan timah sudah menjadi bagian dari keseharian dan tambang illegal justru semakin menjadi. Ini akibat IPR dan wilayah pertambangan rakyat (WPR) yang ditunggu-tunggu dan kerap dijanjikan hingga sekarang hanya isapan jempol belaka,” ungkap sumber lokal.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Situasi ini semakin menekan perekonomian masyarakat setempat. Pasca penindakan kasus timah besar-besaran beberapa waktu lalu, kondisi rakyat Babel justru semakin terpuruk. Hal ini menunjukkan betapa pertambangan timah masih mendominasi perekonomian Provinsi Babel.
Namun tanpa adanya kepastian hukum mengenai izin pertambangan rakyat, masyarakat seakan dibiarkan menggantung.
Antara Harapan dan Skeptisisme
Pidato Presiden Prabowo yang menyatakan keberanian menghadapi “orang besar” dalam bisnis tambang ilegal semestinya memberi harapan baru bagi masyarakat. Namun skeptisisme publik, termasuk dari JATAM, memperlihatkan bahwa komitmen itu masih jauh dari kenyataan.
Selama struktur ekonomi dan politik masih memberikan ruang bagi oligarki tambang, penertiban tambang ilegal akan sulit dilakukan. Terlebih, ketika janji-janji pemerintah terkait legalisasi pertambangan rakyat masih belum kunjung terealisasi.
Kini, publik menunggu langkah konkret pemerintah. Apakah ancaman tegas Presiden hanya sekadar “pidato” atau benar-benar akan diwujudkan dalam tindakan nyata yang berpihak pada rakyat, lingkungan, dan keadilan sosial sebagaimana amanat konstitusi. (Sumber: Koranbabelpos.id, editor: KBO Babel)