KBOBABEL.COM – Kepemimpinan adalah seni melukis di atas kanvas sejarah. Setiap kebijakan meninggalkan jejak abadi apakah menjadi mahakarya kebajikan atau coretan pencitraan, tergantung pada tinta nurani sang pemimpin.
Setiap pemimpin lahir dari janji, bukan hanya janji kepada rakyat, tetapi juga janji kepada dirinya sendiri. Namun banyak yang lupa, bahwa kekuasaan bukan sekadar panggung untuk bergaya. Sebab sejarah tidak pernah menyediakan penghapus bagi setiap goresan kebijakan yang telah ditorehkan terutama bagi mereka yang melukis dengan tinta pencitraan, bukan dengan nurani.
________
SEJAK pertama kali menandatangani sumpah jabatan, Tuhan telah menghadiahkan satu “bonus istimewa” bagi setiap pemimpin: sehelai kanvas kosong dan sebuah kuas bernama kekuasaan.
Tugasnya sederhana, melukis. Tapi hasilnya? Itu tergantung pada niat, bukan pada anggaran, apalagi kamera.
Ada pemimpin yang melukis dengan hati.
Warna-warnanya lembut: kebijaksanaan, kejujuran, dan kasih kepada rakyatnya.
Setiap goresan punya makna, setiap warna punya arah.
Namun, ada pula yang melukis seperti sedang lomba cepat, asal ramai, asal viral, asal terlihat sibuk. Kuasnya gemetar, tintanya tumpah, dan kanvasnya… mirip laporan keuangan daerah yang sempat “mengendap”: warnanya banyak, tapi maknanya kabur.
Yang lucu, sebagian pemimpin merasa lukisannya paling indah. Padahal jika rakyat melihat dari jauh, mirip lukisan abstrak hasil kolaborasi antara janji manis dan kepentingan pribadi. Mereka menamai karyanya “Pembangunan Berkeadilan,” padahal rakyat lebih cocok memberi judul “Pembangunan untuk Kalangan Sendiri.”
Dan yang lebih menggelikan, pemimpin hari ini seolah tengah bersaing merebut Piala Citra bukan di dunia perfilman, tapi dalam kategori “Aktor Terbaik dalam Urusan Pencitraan.” Mereka yakin, jika pandai berpose di depan kamera, rakyat akan lupa bahwa tinta janji yang dulu ditebarkan kini mulai pudar oleh kenyataan.
Padahal sejarah tidak menyediakan fitur “hapus” seperti aplikasi desain. Sekali tinta kebijakan jatuh di kanvas, bekasnya akan abadi. Waktu bisa berjalan, tetapi noda tetap menempel terutama jika catnya berasal dari kebijakan yang plin-plan: hari ini melapor, besok mencabut laporan; hari ini lantang bersuara, dua hari kemudian mengaku salah alamat. Rakyat pun bingung: ini pemimpin atau pelukis ilusi?
Gelombang kecil kini mulai muncul di tepi kanvas kekuasaan. Para tokoh yang dulu berjasa melahirkan daerah ini mulai merasa dikhianati. Mereka bukan marah karena tidak diundang, melainkan kecewa karena merasa dilupakan. Forum Pejuang yang dulu memperjuangkan berdirinya daerah ini bahkan menginstruksikan seluruh anggotanya untuk tidak menghadiri perayaan ulang tahun ke-25 daerah tercinta.
Bukan karena benci kepada negeri, tetapi karena cinta pada sejarah yang mulai dihapus oleh tangan yang dulu berjanji menghormatinya.
Maka berhati-hatilah, wahai para pemegang kuas kekuasaan. Jangan biarkan tinta yang kau gunakan berasal dari anggaran yang “disulap,” sebab warnanya terlalu mencolok dalam laporan audit. Dan jangan pula melukis dengan air mata rakyat, karena cepat luntur ketika hujan keadilan datang.
Gunakan tinta yang lahir dari keikhlasan, bukan hasil lelang jabatan atau manuver politik yang disamarkan dalam bahasa “percepatan pembangunan.”
Karena pada akhirnya, sejarah tak akan menulis siapa yang paling sering muncul di layar, tetapi siapa yang paling berani berbuat benar meski tanpa sorotan kamera.
Sungguh, tak ada nasib yang lebih menyedihkan daripada ketika nama seorang pemimpin diabadikan di bab sejarah dengan huruf besar:
“PEMIMPIN YANG KEHILANGAN ARAH, GAGAL MENJAGA AMANAH, DAN LUPA BAHWA KEKUASAAN ITU SEMENTARA.”
Itu bukan penghargaan, melainkan pengingat abadi yang lebih pedih dari surat panggilan lembaga hukum, sebab hukuman sejarah tak bisa dicabut, bahkan dengan klarifikasi resmi.
Namun sejatinya, kepemimpinan bukan hanya tentang jabatan. Kita semua entah pejabat, wartawan, atau warga biasa sedang memimpin diri sendiri. Setiap hari, kita pun sedang melukis: lewat cara kita bersikap, menepati janji, membantu sesama, atau setidaknya tidak menambah beban hidup orang lain.
Kanvas kehidupan kita akan tetap tergantung di dinding waktu, dan setiap goresan akan berbicara tentang siapa kita sebenarnya.
Pertanyaannya sederhana:
Apakah lukisan kita kelak akan dikenang sebagai karya indah penuh warna kebajikan, atau justru menjadi coretan gelap dari tangan yang kehilangan nurani?
Sebab sejarah tidak pernah memberi kesempatan untuk mengulang semester kepemimpinan. Lima tahun berlalu, lukisan itu selesai dan tak ada penghapus untuk memperbaikinya.
Maka sebelum kuas terakhir berhenti menari, marilah kita semua dan seluruh rakyat yang masih waras sepakat melukis dengan nurani. Sebab tinta keikhlasan tak butuh panggung, cukup pengakuan kecil dari rakyat yang berkata:
“Terima kasih, pemimpin kami sudah berbuat, bukan sekadar bergaya.”
Dan jika itu benar terjadi, barangkali sejarah pun akan tersenyum. Senyum kecil tulus, tanpa pencitraan, tanpa perlu efek filter, tanpa perlu jumpa pers.
Karena pada akhirnya, setiap pemimpin akan meninggalkan lukisan nasibnya sendiri. Ada yang menggantungkan mahakarya di dinding sejarah, ada pula yang meninggalkan coretan yang membuat rakyat geleng kepala sambil berbisik pelan:
“Sayang, kalau dari awal pakai cat hati, mungkin hasilnya nggak separah itu.”
_____________________
Catatan Redaksi:
Isi narasi opini ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis. Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan atas penyajian artikel ini, Anda dapat mengirimkan artikel atau berita sanggahan/koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Sanggahan dapat dikirimkan melalui email atau nomor whatsapp Redaksi sebagaimana yang tertera pada box Redaksi.
(Publisher : KBO Babel)













