Foto: Mahkamah Konstitusi (MK). (Viva)
<p><strong><a href="http://KBOBABEL.COM">KBOBABEL.COM</a> (Jakarta) – Ahli hukum Chandra M. Hamzah menyoroti ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Dalam sidang pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi (MK), ia mengungkapkan potensi masalah akibat penafsiran pasal tersebut yang bisa menjerat siapa saja, termasuk penjual pecel lele di trotoar. Sabtu (21/6/2025)</strong></p>
<p>Sidang yang berlangsung Jumat (20/6/2025) itu membahas perkara Nomor 142/PUU-XXII/2024. Agenda sidang meliputi mendengar keterangan dari DPR, serta keterangan ahli dan saksi pemohon. Dalam sidang, Chandra, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007-2009, menjabarkan bahaya penafsiran luas terhadap pasal-pasal UU Tipikor.</p>
<p>Chandra memulai dengan menguraikan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang berbunyi:</p>
<p><em>&#8220;Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).&#8221;</em></p>
<p>Ia juga menjelaskan Pasal 3 UU Tipikor:</p>
<p><em>&#8220;Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).&#8221;</em></p>
<h4><strong>Potensi Problematika Penafsiran</strong></h4>
<p>Menurut Chandra, kedua pasal tersebut memiliki potensi penafsiran yang bermasalah, terutama dalam penerapannya terhadap kasus-kasus yang sebenarnya tidak mencerminkan tindak pidana korupsi secara substantif.</p>
<p>&#8220;Menimbulkan problematika, tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas atau bersifat ambigu maupun tidak boleh ditafsirkan secara analogi sehingga tidak melanggar asas lex certa maupun lex stricta,&#8221; kata Chandra.</p>
<p>Ia memberi contoh ekstrim bahwa seorang penjual pecel lele yang berjualan di trotoar bisa saja dijerat Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Penjual pecel lele tersebut dinilai melakukan perbuatan melawan hukum karena menggunakan trotoar yang seharusnya diperuntukkan bagi pejalan kaki. Selain itu, tindakan tersebut dianggap memperkaya diri sendiri sekaligus merugikan negara karena mengurangi fungsi trotoar sebagai fasilitas umum.</p>
<p>&#8220;Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, maka penjual pecel lele di trotoar juga dapat dikenakan sanksi tersebut. Sebab, penjual pecel lele termasuk &#8216;setiap orang&#8217; yang melakukan perbuatan &#8216;melawan hukum&#8217; dengan berjualan di atas trotoar yang seharusnya digunakan pejalan kaki,&#8221; jelasnya.</p>
<h4><strong>Ketidaksesuaian dengan Esensi Korupsi</strong></h4>
<p>Chandra juga menyoroti ketidaksesuaian frasa &#8220;setiap orang&#8221; dalam Pasal 3 dengan esensi tindak pidana korupsi. Menurutnya, tidak semua orang memiliki kedudukan atau kewenangan yang bisa dikaitkan dengan korupsi.</p>
<p>&#8220;Frasa &#8216;setiap orang&#8217; dalam Pasal 3 dapat mengingkari esensi dari korupsi itu sendiri. Tidak setiap orang memiliki kekuasaan yang cenderung korup. Ketentuan ini telah menegaskan adanya jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,&#8221; tegasnya.</p>
<p>Ia merekomendasikan agar Pasal 3 direvisi sesuai dengan ketentuan Article 19 UNCAC (United Nations Convention Against Corruption). Salah satu saran yang diberikan adalah mengganti frasa &#8220;setiap orang&#8221; menjadi &#8220;pegawai negeri&#8221; atau &#8220;penyelenggara negara.&#8221;</p>
<h4><strong>Rekomendasi Revisi Pasal UU Tipikor</strong></h4>
<p>Dalam pandangan Chandra, Pasal 2 ayat (1) sebaiknya dihapus karena rumusannya melanggar asas lex certa, yakni asas yang mewajibkan rumusan undang-undang jelas dan pasti. Sementara itu, Pasal 3 perlu direvisi untuk menyelaraskan dengan rekomendasi UNCAC.</p>
<p>&#8220;Kesimpulannya adalah Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tipikor kalau saya berpendapat untuk dihapuskan karena rumusannya melanggar asas lex certa, perbuatan apa yang dinyatakan sebagai korupsi. Kemudian yang kedua, merevisi Pasal 3 Undang-Undang Tipikor dengan mengganti, menyesuaikan dengan Article 19 UNCAC yang sudah kita jadikan norma, &#8216;Setiap Orang&#8217; diganti dengan &#8216;Pegawai Negeri&#8217; dan &#8216;Penyelenggara Negara&#8217;,&#8221; tambah Chandra.</p>
<h4><strong>Pendapat Ahli Keuangan</strong></h4>
<p>Dalam sidang yang sama, Ahli Keuangan Amien Sunaryadi, yang juga mantan Wakil Ketua KPK periode 2003-2007, turut memberikan keterangan. Ia mengungkapkan bahwa data survei menunjukkan jenis korupsi yang paling banyak terjadi adalah suap. Namun, aparat penegak hukum lebih sering mengejar kasus korupsi yang merugikan keuangan negara.</p>
<p>&#8220;Cara kerja aparat penegak hukum dan juga pemeriksa keuangan tidak akan menjadikan Indonesia bebas dari korupsi, karena korupsi yang paling banyak adalah suap. Korupsi yang ditulis di Undang-Undang yang berlaku, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah suap, tapi yang dikejar-kejar merugikan keuangan negara,&#8221; papar Amien.</p>
<h4><strong>Upaya Penyelarasan dengan UNCAC</strong></h4>
<p>Baik Chandra maupun Amien sepakat bahwa ketentuan dalam UU Tipikor perlu disesuaikan dengan rekomendasi UNCAC untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum. Langkah ini juga diharapkan dapat mengurangi potensi penyalahgunaan pasal untuk menjerat pihak-pihak yang sebenarnya tidak terkait dengan tindak pidana korupsi secara esensial.</p>
<p>Sidang pengujian materiil ini menjadi momentum penting untuk mengevaluasi efektivitas dan keadilan dalam penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam memberantas korupsi yang kerap menjadi sorotan publik. (Sumber: Detikcom, Editor: KBO Babel)</p>

PANGKALPINANG, KBOBABEL.COM — DALAM rangka memperkuat sistem pengamanan internal dan menjamin stabilitas lingkungan pemasyarakatan, Lembaga…
KBOBABEL.COM (PANGKALPINANG) – Peredaran pupuk palsu di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) mengundang perhatian publik.…
KBOBABEL.COM (BANGKA BARAT) – Satuan Polisi Air dan Udara (Satpolairud) Polres Bangka Barat kembali menunjukkan…
KBOBABEL.COM (Pangkalpinang) — Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Pangkalpinang secara resmi menetapkan pasangan bakal calon…
KBOBABEL.COM (Jakarta) – Wartawan senior sekaligus aktivis nasional, Edy Mulyadi, kembali menyuarakan kritik tajamnya terhadap…
KBOBABEL.COM (BELITUNG) – Komitmen PT Timah Tbk dalam menjaga kelestarian ekosistem laut kembali diwujudkan melalui…