Putusan Uji Formil UU TNI Jadi Ujian Demokrasi, Pemohon Soroti Minim Partisipasi Publik

Sidang Putusan UU TNI Digelar Daring, Koalisi Sipil Pertanyakan Transparansi MK

banner 468x60
Advertisements

KBOBABEL.COM (JAKARTA) — Mahkamah Konstitusi (MK) menjadwalkan pembacaan putusan terkait lima perkara uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada Rabu, 17 September 2026. Sidang digelar di ruang pleno MK pukul 13.30 WIB dengan format daring, di mana para pemohon diminta hadir secara online.

Juru Bicara MK, Pan Mohamad Faiz, menjelaskan keputusan menghadirkan pemohon secara online dipertimbangkan berdasarkan situasi teknis di lapangan.

banner 336x280

“Kemungkinan menyesuaikan kondisi. Banyak putusan, termasuk PHPU. Mungkin nanti terjadi keramaian, kan lagi dikurangi,” ujarnya kepada media, Rabu, 17 September 2025.

Menurut Faiz, pada hari yang sama MK menangani sekitar 20 perkara sekaligus. Kebijakan menghadirkan pemohon secara daring dipandang lebih efektif untuk menjaga ketertiban jalannya persidangan.

Keberatan Pemohon

Meski demikian, kebijakan ini mendapat sorotan dari para pemohon. Kuasa hukum salah satu pemohon, Jane Rosalina, menilai keputusan MK yang tiba-tiba membuat pihaknya kebingungan.

“Terkadang sidang untuk gugatan Revisi UU TNI digelar secara offline. Kali ini tiba-tiba online tanpa pemberitahuan yang jelas,” katanya.

Senada, Ardi Manto Putra dari lembaga Imparsial menilai format sidang tersebut aneh.

“Nggak ada pemberitahuan apa-apa, hanya kami dipanggil untuk hadir secara online,” ujarnya melalui pesan singkat, Rabu, 17 September 2025.

Dalam laman resmi MK, lima perkara uji formil yang dibacakan putusannya meliputi nomor 81/PUU-XXIII/2025, 75/PUU-XXIII/2025, 69/PUU-XXIII/2025, 56/PUU-XXIII/2025, dan 45/PUU-XXIII/2025.

Kritik Terhadap Proses Legislasi

Kelima perkara tersebut diajukan oleh sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Mereka menilai proses pembentukan UU TNI tidak sesuai aturan pembentukan perundang-undangan.

Koalisi menuding pembahasan UU TNI tertutup, minim partisipasi publik, serta draf rancangan tidak pernah dibuka secara luas.

“Proses pembahasannya jauh dari partisipasi publik. Rapat dilakukan diam-diam dan naskahnya tidak pernah bisa diakses,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, dalam konferensi pers Selasa, 16 September 2025.

Menurut Usman, perubahan pasal dalam UU TNI justru melemahkan kontrol sipil atas militer. Ia berharap MK berani mengambil keputusan bersejarah untuk menjaga demokrasi dari ancaman militerisme.

Isu Kembali Dwifungsi TNI

Koalisi masyarakat sipil juga menyoroti gejala kembalinya dwifungsi TNI. Mereka menyebut indikasi keterlibatan aparat militer dalam kerusuhan 25–31 Mei 2025, dugaan intervensi dalam proses hukum siber, serta perluasan peran TNI di ranah sipil.

Fatiah Maulidiyanti, salah satu pemohon, menegaskan prinsip supremasi sipil merupakan amanat Reformasi 1998 yang harus dijaga. Ia mengkritik masih banyaknya prajurit aktif maupun purnawirawan menduduki jabatan sipil strategis.

“TNI harus kembali ke barak dan fokus pada pertahanan negara, bukan mengisi jabatan sipil,” ucap Fatiah.

Menurutnya, kondisi tersebut memperkuat budaya impunitas sekaligus membuka jalan bagi militerisme menguasai ranah publik.

Posisi Pemerintah

Di sisi lain, pemerintah menolak dalil pemohon. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas sebelumnya meminta MK menolak permohonan uji formil tersebut. Ia menegaskan proses legislasi UU TNI sudah sesuai prosedur.

“Pemerintah telah menyelenggarakan penyerapan aspirasi dengan masyarakat, baik melalui rapat atau focus group discussion dalam rangka penyusunan daftar inventaris masalah UU TNI,” ujar Supratman dalam sidang lanjutan uji formil di Gedung MK, Jakarta, Senin, 23 Juni 2025.

Menurut pemerintah, mekanisme itu membuktikan partisipasi publik tetap berjalan meskipun tidak sepenuhnya terbuka.

Taruhan Demokrasi

Koalisi Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, yang terdiri dari YLBHI, Imparsial, KontraS, dan sejumlah organisasi lain, menilai putusan MK akan menjadi ujian komitmen terhadap prinsip demokrasi.

“Keputusan MK atas perkara ini akan menentukan masa depan ruang sipil di Indonesia,” ujar Usman Hamid. Ia menegaskan bahwa supremasi sipil dan pemisahan urusan pertahanan dari ranah sipil adalah syarat utama agar demokrasi Indonesia tetap sehat.

Dengan berbagai kontroversi yang mengiringi pembentukan UU TNI, publik kini menantikan apakah MK akan mengabulkan gugatan atau justru menolaknya. Putusan ini diyakini akan memberi arah baru bagi relasi sipil-militer di Indonesia, sekaligus menjadi cermin keberpihakan MK dalam menjaga prinsip-prinsip konstitusi.

Menanti Putusan Bersejarah

Bagi koalisi sipil, harapan mereka jelas: MK harus mengambil langkah tegas melindungi demokrasi dari ancaman militerisme. Sebaliknya, pemerintah menilai pembentukan UU TNI sudah sesuai prosedur hukum yang berlaku.

Dalam konteks ini, putusan MK bukan sekadar jawaban atas sengketa administratif, melainkan keputusan yang menyangkut masa depan supremasi sipil. Publik pun menunggu apakah MK akan mencatatkan sejarah baru atau justru menambah panjang daftar kontroversi legislasi di Indonesia. (Sumber : Tempo, Editor : KBO Babel)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *