KBOBABEL.COM (Jakarta) – PT Timah Tbk (TINS) mengambil langkah tegas dalam upaya memberantas praktik pertambangan timah ilegal yang kian marak di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Perusahaan pelat merah ini resmi membentuk dua satuan tugas (Satgas) khusus, yakni Satgas Nanggala yang dibentuk internal perusahaan, serta Satgas Halilintar yang merupakan inisiatif pemerintah dengan melibatkan aparat penegak hukum (APH) dari unsur TNI. Selasa (23/9/2025)
Direktur Utama PT Timah Tbk, Restu Widiyantoro, menjelaskan bahwa langkah pembentukan Satgas ini dilakukan sebagai bentuk komitmen perusahaan memperbaiki tata kelola pertimahan nasional sekaligus menekan masifnya praktik pertambangan ilegal yang merugikan negara, perusahaan, dan masyarakat.
“Kalau kami internal itu ada namanya Satgas Nanggala. Itu internal, sudah tiga bulan yang lalu. Tapi kalau yang eksternal ya, yang dari pemerintah itu (Satgas Halilintar), kami nggak tahu. Karena memang belum, jadi bukan kewenangan kami untuk masuk. Jadi kami hanya menerima saja,” ujar Restu saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (23/9/2025).
Satgas Nanggala: Penyekatan, Penertiban, dan Pengelolaan Kolektor
Restu memaparkan, terdapat tiga tugas utama yang diemban Satgas Nanggala. Pertama, melakukan penyekatan di wilayah IUP PT Timah untuk mencegah aktivitas tambang ilegal yang selama ini berjalan secara bebas dan head-to-head dengan tambang legal.
“Selama ini di Bangka Belitung itu bersaing bebas antara yang legal dengan yang ilegal. Itu berhadapan langsung di lapangan. Kami menyadari bahwa kondisi ini tidak sehat bagi industri, makanya kami harus melakukan penyekatan agar yang ilegal tidak bisa masuk,” tegasnya.
Kedua, Satgas Nanggala bertugas melakukan penertiban tambang ilegal dengan pendekatan pemberdayaan. PT Timah memilih jalan melegalkan aktivitas penambang rakyat melalui pola kemitraan koperasi. Saat ini, setidaknya terdapat 30 koperasi penambang, nelayan, hingga koperasi karyawan yang difasilitasi perusahaan agar hasil tambang mereka bisa masuk jalur legal.
“Sejak awal kami sampaikan ke Dewan bahwa semua yang ilegal akan kami organisir menjadi legal dengan dua cara. Prinsipnya, siapa pun yang menambang di wilayah IUP PT Timah, hasil timahnya harus masuk ke perusahaan. Dengan begitu, produksinya tercatat resmi dan memberi kontribusi ke negara,” papar Restu.
Ketiga, Satgas Nanggala juga berwenang melakukan penertiban terhadap kolektor atau pihak perantara yang selama ini membeli timah dari penambang ilegal. Restu menekankan, kolektor yang bersedia ditertibkan akan dibina, diberdayakan, dan dikelola secara resmi. Namun, bagi kolektor yang menolak, perusahaan tidak segan-segan mengeluarkan mereka dari wilayah IUP.
“Kami bina dengan baik. Tapi kalau tidak mau, atau selama ini lebih nyaman dengan cara ilegal karena mendapat uang lebih banyak tanpa pajak, ya mereka harus keluar. Tidak ada kompromi,” ujarnya.
Satgas Halilintar: Peran Pemerintah dan TNI
Selain Satgas internal, pemerintah juga membentuk Satgas Halilintar sebagai bagian dari penegakan hukum terhadap tambang ilegal. Satgas ini melibatkan unsur aparat penegak hukum (APH) terutama TNI untuk memperkuat pengawasan dan penertiban di lapangan.
Meski PT Timah tidak memiliki kewenangan langsung mengatur Satgas Halilintar, Restu menegaskan bahwa perusahaan siap mendukung penuh setiap langkah pemerintah dalam memperbaiki tata kelola pertimahan nasional.
“Kami menyambut baik langkah pemerintah. Kami berharap dengan adanya dua satgas ini, kegiatan tambang ilegal di Bangka Belitung bisa ditekan dan tata kelola pertimahan semakin membaik,” katanya.
Persaingan Harga: Legal Selalu Kalah dari Ilegal
Restu menuturkan bahwa tambang ilegal sudah menjadi masalah kronis yang menekan kinerja PT Timah. Salah satu persoalan terbesar adalah persaingan harga.
“Setiap PT Timah menaikkan harga, misalnya Rp250 ribu per kilogram, penambang ilegal bisa langsung naik lebih besar. Akhirnya kami selalu kalah. Padahal, perusahaan wajib menanggung pajak, biaya produksi, dan kewajiban lain. Ini membuat posisi perusahaan semakin terjepit,” ungkapnya.
Kondisi ini, kata Restu, membuat PT Timah tidak hanya kehilangan potensi produksi, tetapi juga terancam dari sisi keberlanjutan usaha. Oleh karena itu, kehadiran Satgas menjadi momentum penting untuk merebut kembali kontrol atas sumber daya timah nasional.
Target Produksi Lebih Tinggi
Dengan strategi penyekatan, penertiban, dan legalisasi tambang rakyat, PT Timah optimis produksi perusahaan akan meningkat. Tahun ini, saat Satgas Nanggala bekerja penuh, perusahaan menargetkan produksi 21.500 ton timah atau sekitar 1.800 ton per bulan.
Sementara pada 2026, ketika Satgas Halilintar mulai aktif, target produksi dipatok lebih tinggi lagi, yakni 30.000 ton per tahun atau setara 6.500 ton per bulan.
“Kami optimis, kalau tambang ilegal benar-benar bisa diberantas, produksi PT Timah akan melonjak. Implikasinya jelas, penerimaan negara meningkat, perusahaan sehat, dan masyarakat juga merasakan manfaatnya,” jelas Restu.
Dampak Sosial Ekonomi
Restu menambahkan, pembenahan tata kelola pertimahan tidak hanya soal keuntungan perusahaan, tetapi juga berdampak langsung pada masyarakat Babel. Dengan mengorganisir penambang rakyat melalui koperasi, masyarakat bisa mendapatkan kepastian harga, akses pasar legal, serta perlindungan sosial.
“Mudah-mudahan dengan tiga langkah ini, harga dan keuntungan masyarakat bisa naik. Bangka Belitung menjadi surga bagi warganya. Jadi, tidak hanya perusahaan yang untung, tetapi juga masyarakat,” pungkasnya.
Dukungan DPR
Dalam forum RDP, sejumlah anggota Komisi VI DPR RI memberikan dukungan terhadap langkah PT Timah. Mereka menilai kehadiran Satgas Nanggala dan Satgas Halilintar menjadi momentum penting untuk menghentikan kerugian negara akibat tambang ilegal yang selama ini berjalan masif di Babel.
Sejumlah anggota Dewan juga meminta pemerintah lebih tegas dalam menindak para pelaku tambang ilegal, termasuk jaringan kolektor dan pembeli timah ilegal yang memperparah situasi.
“Kalau dibiarkan, tambang ilegal ini bukan hanya merugikan PT Timah, tapi juga negara. Karena itu, kami mendorong Satgas bekerja secara serius, jangan hanya jadi formalitas,” ujar salah satu anggota Komisi VI.
Harapan Besar
PT Timah berharap dengan adanya sinergi antara Satgas internal dan eksternal, masalah tambang ilegal di Babel yang sudah berlangsung puluhan tahun bisa diatasi. Selain memperkuat industri strategis nasional, langkah ini juga diyakini mampu memperbaiki citra Indonesia di pasar global sebagai salah satu produsen timah terbesar dunia.
“Timah adalah komoditas strategis, tidak hanya bagi perusahaan tetapi juga bagi negara. Kalau tata kelola kita beres, Indonesia bisa memimpin pasar timah dunia dengan lebih kuat,” tutup Restu. (Sumber : CNBC Indonesia, Editor : KBO Babel)