KBOBABEL.COM (Jakarta) – PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, mencatatkan perjalanan keuangan yang penuh kontroversi. Pada tahun 2020, perusahaan ini dilaporkan meraup keuntungan sebesar Rp1,24 triliun. Namun, setahun kemudian, perusahaan yang sebelumnya menjadi andalan industri tekstil nasional ini justru mengalami kerugian hingga Rp15,65 triliun. Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung) menyebut adanya kejanggalan dalam laporan keuangan tersebut. Sabtu (24/5/2025)
“Jadi ini ada keganjilan. Dalam satu tahun, perusahaan mengalami keuntungan yang sangat signifikan, kemudian di tahun berikutnya mencatatkan kerugian yang sangat besar. Inilah konsentrasi dari teman-teman penyidik,” ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (21/5/2025) malam.
Penyidik menduga, laporan keuangan yang menunjukkan keuntungan besar pada tahun 2020 digunakan untuk meyakinkan bank agar memberikan kredit. Namun, kegagalan manajemen perusahaan dan dugaan penyalahgunaan dana kredit menjadi penyebab utama kerugian besar pada tahun 2021.
Kejanggalan ini terungkap di tengah pengusutan dugaan korupsi terkait pemberian kredit bank kepada PT Sritex. Komisaris Utama PT Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, bersama dua pegawai bank, yakni Dicky Syahbandinata dan Zainudin Mapa, telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Modus Pemberian Kredit dan Kerugian Negara
Kasus ini bermula dari pemberian kredit oleh sejumlah bank kepada PT Sritex. Berdasarkan data penyidik Kejaksaan Agung, Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB) memberikan kredit sebesar Rp543,98 miliar, sementara Bank DKI Jakarta memberikan kredit sebesar Rp149,01 miliar. Total kredit dari kedua bank tersebut mencapai Rp692,98 miliar yang dinyatakan sebagai kerugian negara akibat kredit macet.
Menurut Abdul Qohar, pemberian kredit ini melanggar prosedur perbankan.
“BJB dan Bank DKI telah memberikan kredit secara melawan hukum karena tidak melakukan analisis yang memadai dan tidak mematuhi prosedur serta persyaratan yang telah ditetapkan,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa kredit tersebut diberikan meskipun peringkat kredit PT Sritex berada di bawah standar, yaitu BB-. Padahal, pemberian kredit semestinya hanya dilakukan pada entitas dengan peringkat kredit minimal A.
Berdasarkan data yang dihimpun penyidik, PT Sritex memiliki total kredit macet sebesar Rp3,58 triliun. Kredit ini diperoleh dari sejumlah bank pemerintah, bank daerah, dan 20 bank swasta lainnya.
Selain Bank BJB dan Bank DKI Jakarta, Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah (Bank Jateng) memberikan kredit sebesar Rp395,66 miliar. Sementara itu, Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) yang terdiri dari Bank BNI, Bank BRI, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) turut memberikan kredit dengan total mencapai Rp2,5 triliun.
Namun, hingga saat ini, baru peran Bank BJB dan Bank DKI yang dapat dibuktikan oleh penyidik sebagai pelanggaran hukum.
“Kami masih mendalami apakah pemberian kredit dari bank lainnya juga dilakukan secara tidak prosedural,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregara.
Kredit Disalahgunakan
Penyidik juga menemukan bahwa dana kredit yang diberikan kepada PT Sritex tidak digunakan sesuai tujuan awal sebagai modal kerja. Sebaliknya, dana tersebut disalahgunakan untuk membayar utang kepada pihak ketiga dan membeli aset non-produktif, seperti tanah di Yogyakarta dan Solo.
“Perbuatan ini melanggar prinsip kehati-hatian perbankan dan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan,” lanjut Abdul Qohar.
Akibat tindakan tersebut, para tersangka diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Penangkapan dan Penahanan
Iwan Setiawan Lukminto ditangkap oleh penyidik Kejaksaan Agung pada Selasa (20/5/2025) malam di kediamannya di Solo, Jawa Tengah. Setelah penangkapan, ia dibawa ke Kejaksaan Negeri Surakarta sebelum diterbangkan ke Jakarta untuk diperiksa lebih lanjut.
Pemeriksaan terhadap Iwan dilakukan di Gedung Bundar Kejaksaan Agung mulai Rabu pagi (21/5/2025). Ia bersama kedua tersangka lainnya kini ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari untuk keperluan penyidikan.
Pailit dan Pembatalan Homologasi
PT Sritex telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada Oktober 2024. Putusan ini sekaligus membatalkan rencana perdamaian (homologasi) yang sebelumnya disahkan pada Januari 2022.
“Setelah dinyatakan pailit, PT Sritex secara resmi menghentikan seluruh operasional perusahaan pada 1 Maret 2025,” ungkap Harli.
Pailitnya PT Sritex tidak hanya menimbulkan kerugian finansial bagi para kreditur, tetapi juga berdampak besar pada para pekerja dan mitra usaha perusahaan tersebut.
Proses Penyidikan Berlanjut
Harli Siregara menambahkan bahwa penyidik saat ini tengah mendalami kronologi pemberian kredit kepada PT Sritex. Salah satu aspek yang menjadi perhatian adalah kondisi perusahaan saat menerima fasilitas kredit.
“Kita lihat nanti apakah perusahaan ketika diberikan fasilitas kredit ini dalam kondisi baik, capable, bagaimana kecukupan agunan, dan apakah prosesnya sesuai mekanisme atau tidak,” jelas Harli.
Penyidik juga berfokus pada penggunaan dana kredit yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Dugaan adanya praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang menjadi dasar untuk menjerat para tersangka dalam kasus ini. (Sumber: Bangka Pos, Editor: KBO Babel)