KBOBABEL.COM (JAKARTA) — Satu tahun sudah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka berjalan sejak dilantik pada 20 Oktober 2024. Tahun pertama pemerintahan ini berlangsung di tengah tantangan berat baik global maupun domestik, mulai dari gejolak harga pangan, perubahan iklim, hingga ketegangan geopolitik yang mengguncang rantai pasok dunia. Selasa (21/10/2025)
Meski demikian, ekonomi Indonesia dinilai masih mampu bertahan dengan cukup stabil. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), perekonomian nasional pada kuartal IV 2024 — atau awal pemerintahan Prabowo-Gibran — tumbuh 5,02 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Namun pada kuartal I 2025, pertumbuhan sedikit melambat ke 4,87 persen, sebelum kembali menguat menjadi 5,12 persen (yoy) di kuartal II 2025.
Selain itu, tingkat kemiskinan juga tercatat menurun. Per Maret 2025, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 23,85 juta orang, turun dari 24,06 juta orang pada September 2024. Capaian ini menunjukkan adanya perbaikan kesejahteraan meski di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu.
Stabilitas Makro dan Daya Beli Terjaga
Menurut Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, sejumlah kebijakan ekonomi Prabowo-Gibran pada tahun pertama patut diapresiasi. Salah satunya, kemampuan pemerintah menjaga inflasi tetap terkendali, nilai tukar rupiah relatif stabil, serta daya beli masyarakat tetap kuat melalui program subsidi dan bantuan sosial.
“Pemerintah relatif berhasil menjaga stabilitas makro, misalnya inflasi tetap terkendali, nilai tukar rupiah tidak bergejolak, dan daya beli masyarakat cukup terjaga lewat berbagai program bantuan sosial. Ini prestasi yang layak diapresiasi,” ujar Ronny, Selasa (21/10).
Ia juga menilai, langkah pemerintah mempercepat hilirisasi sumber daya alam dan memperkuat ketahanan pangan patut dicatat sebagai inisiatif positif, meskipun hasilnya belum sepenuhnya terlihat.
Namun, di balik capaian itu, Ronny menilai masih ada pekerjaan rumah besar yang perlu diselesaikan. Salah satunya adalah efektivitas belanja negara yang masih lemah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama di sektor produktif.
“Realisasi belanja negara belum cukup efektif. Ini tercermin dari konsumsi pemerintah pada kuartal II yang malah tumbuh negatif, minus 0,33 persen. Padahal kontribusinya ke pertumbuhan ekonomi cukup besar, sekitar 6,93 persen,” kata Ronny.
Investasi Asing Masih Lesu
Ronny menyoroti bahwa meski pemerintah terus menggaungkan reformasi investasi dan hilirisasi, minat investor asing belum menunjukkan peningkatan signifikan. Berdasarkan data Kementerian Investasi, total realisasi investasi pada Januari–September 2025 mencapai Rp1.434,3 triliun atau 75,3 persen dari target tahunan Rp1.905,6 triliun. Namun, porsi Penanaman Modal Asing (PMA) hanya 43,1 persen atau sekitar Rp212 triliun, sementara sisanya didominasi oleh Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
“Investasi asing masih lemah karena ada masalah klasik: kepastian hukum, birokrasi yang rumit, dan tumpang tindih regulasi,” jelas Ronny.
Selain itu, koordinasi lintas kementerian dan lembaga juga dinilai belum solid, sehingga banyak kebijakan bagus hanya berhenti di atas kertas tanpa implementasi nyata.
“Koordinasi lintas kementerian terlihat belum terlalu solid. Banyak kebijakan bagus di dokumen resmi, tapi lemah di lapangan,” tambahnya.
Untuk memperkuat kinerja ekonomi di tahun kedua dan seterusnya, Ronny menilai ada tiga langkah strategis yang harus dilakukan pemerintahan Prabowo-Gibran:
-
Meningkatkan efektivitas fiskal, dengan mengarahkan belanja negara pada proyek produktif yang memiliki efek pengganda besar, bukan sekadar program populis.
-
Memperbaiki tata kelola investasi dan perizinan agar kepercayaan pelaku usaha, terutama investor asing, meningkat.
-
Mendorong reformasi kelembagaan dan koordinasi antar kementerian/lembaga, agar kebijakan berjalan sinkron dan cepat diimplementasikan.
“Kalau tiga hal ini dijalankan konsisten, efektivitas kebijakan ekonomi tahun-tahun berikutnya akan jauh lebih kuat,” tegasnya.
Tantangan Menuju Industrialisasi
Sementara itu, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai tantangan terbesar pemerintahan Prabowo-Gibran di tahun kedua adalah mempercepat transformasi ekonomi dari hilirisasi menuju industrialisasi sesungguhnya.
Menurutnya, hilirisasi yang digencarkan sejauh ini memang berhasil memperkuat ekspor dan nilai tambah sumber daya alam, namun dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja masih terbatas karena sektor tersebut cenderung padat modal dan bukan padat karya.
“Ke depan, kebijakan industri perlu diarahkan bukan cuma untuk hilirisasi sumber daya alam, tapi juga ke industri padat karya yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Itu penting untuk memanfaatkan momentum bonus demografi,” jelas Rendy.
Ia menambahkan, meskipun tingkat pengangguran terbuka menurun ke level terendah dalam satu dekade terakhir, kualitas pekerjaan di Indonesia masih rendah. Sebagian besar tenaga kerja masih berada di sektor informal dengan produktivitas rendah, upah kecil, dan perlindungan sosial terbatas.
“Kalau ada guncangan ekonomi, kelompok informal ini yang paling rentan. Ini harus jadi perhatian pemerintah,” tegasnya.
Selain memperkuat sektor manufaktur, Rendy juga menilai pentingnya kebijakan fiskal yang lebih produktif. Belanja pemerintah, katanya, harus diarahkan ke program yang punya multiplier effect tinggi seperti pengembangan industri pengolahan, infrastruktur penunjang, dan riset teknologi.
“Belanja pemerintah sebaiknya difokuskan ke sektor yang bisa memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan nilai tambah ekonomi. Di sisi lain, tax ratio juga perlu ditingkatkan supaya ruang fiskal tetap terjaga,” kata Rendy.
Saatnya Akselerasi
Baik Ronny maupun Rendy sepakat bahwa setahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran bisa disebut sebagai periode stabilisasi ekonomi. Tantangan berikutnya adalah menjadikan tahun kedua sebagai momentum akselerasi menuju pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
“Setahun pertama bisa disebut masa stabilisasi. Tahun kedua seharusnya jadi momentum akselerasi dari hilirisasi ke industrialisasi yang lebih produktif dan berkeadilan,” pungkas Rendy.
Dengan fondasi makro yang relatif kuat, pemerintah kini dihadapkan pada tantangan memperbaiki efektivitas fiskal, menarik investasi berkualitas, dan menciptakan lapangan kerja produktif. Jika ketiganya berhasil diwujudkan, bukan tidak mungkin ekonomi Indonesia akan tumbuh lebih cepat dan berdaya saing tinggi di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran. (Sumber : CNN Indonesia, Editor : KBO Babel)













