Simulasi Biaya Royalti Musik Kafe dan Restoran: Mulai Rp200 Ribu per Bulan

Putar Musik di Kafe Wajib Bayar Royalti, Termasuk Suara Alam Rekaman

banner 468x60
Advertisements

KBOBABEL.COM (Jakarta) – Isu pembayaran royalti musik kembali menjadi sorotan publik, khususnya bagi para pelaku usaha seperti kafe dan restoran. Kewajiban ini ditegaskan melalui penegakan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang mengatur tentang penggunaan karya cipta, termasuk musik, di ruang-ruang publik komersial. Kamis (7/8/2025)

Sejumlah pemilik usaha sempat berusaha mencari celah hukum dengan mengganti musik yang biasa diputar di ruang usaha mereka dengan rekaman suara alam, seperti kicauan burung atau gemericik air. Namun, langkah tersebut ternyata tidak serta-merta membebaskan mereka dari kewajiban membayar royalti.

banner 336x280

Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) Dharma Oratmangun menegaskan bahwa rekaman suara apa pun tetap merupakan fonogram yang dilindungi hak terkait, termasuk suara alam yang diproduksi secara komersial oleh produser rekaman.

“Putar lagu rekaman suara burung, suara apa pun, produser yang merekam itu punya hak terhadap rekaman fonogram tersebut, jadi tetap harus dibayar,” ujar Dharma, dikutip dari kanal YouTube KompasTV, Selasa (5/8/2025).

Menurutnya, yang dilindungi dalam hak terkait bukan hanya lagu atau musik instrumental, tetapi juga fonogram dari suara-suara lain yang diproduksi secara profesional. Hak ini meliputi hak produser rekaman dan pelaku pertunjukan atas hasil karya rekamannya. Oleh karena itu, penggunaan rekaman suara di ruang usaha dengan tujuan hiburan tetap masuk dalam kategori yang wajib membayar royalti.

Ketentuan tarif royalti sendiri sudah ditetapkan secara resmi dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor HKI.02/2016. Untuk sektor usaha jasa kuliner seperti restoran dan kafe, terdapat dua jenis royalti yang wajib dibayarkan, yakni royalti untuk hak pencipta dan royalti untuk hak terkait.

Berikut rincian tarif resmi royalti untuk berbagai jenis usaha hiburan yang menggunakan musik atau rekaman suara:

Restoran dan Kafe

  • Royalti hak pencipta: Rp60.000 per kursi/tahun

  • Royalti hak terkait: Rp60.000 per kursi/tahun

Pub, Bar, dan Bistro

  • Royalti hak pencipta: Rp180.000 per m²/tahun

  • Royalti hak terkait: Rp180.000 per m²/tahun

Diskotek dan Klub Malam

  • Royalti hak pencipta: Rp250.000 per m²/tahun

  • Royalti hak terkait: Rp180.000 per m²/tahun

Pembayaran royalti dilakukan minimal satu kali dalam setahun dan dapat diurus secara daring melalui situs resmi LMKN. Tarif ini berlaku untuk semua bentuk pemanfaatan musik atau rekaman suara di ruang usaha, baik yang diputar melalui speaker, live music, hingga media digital seperti streaming atau playlist digital.

Untuk memberikan gambaran lebih jelas kepada pelaku usaha, LMKN memberikan simulasi perhitungan royalti berdasarkan kapasitas tempat duduk untuk restoran dan kafe, serta berdasarkan luas area untuk jenis usaha lainnya.

Simulasi Perhitungan Royalti:

  1. Kafe Kecil Kapasitas 20 Kursi

    • Hak pencipta: Rp60.000 × 20 kursi = Rp1.200.000/tahun

    • Hak terkait: Rp60.000 × 20 kursi = Rp1.200.000/tahun

    • Total royalti setahun: Rp2.400.000 (sekitar Rp200.000 per bulan)

  2. Restoran Sedang Kapasitas 50 Kursi

    • Hak pencipta: Rp60.000 × 50 kursi = Rp3.000.000/tahun

    • Hak terkait: Rp60.000 × 50 kursi = Rp3.000.000/tahun

    • Total royalti setahun: Rp6.000.000 (sekitar Rp500.000 per bulan)

  3. Restoran Besar Kapasitas 100 Kursi

    • Hak pencipta: Rp60.000 × 100 kursi = Rp6.000.000/tahun

    • Hak terkait: Rp60.000 × 100 kursi = Rp6.000.000/tahun

    • Total royalti setahun: Rp12.000.000 (sekitar Rp1.000.000 per bulan)

Sedangkan untuk pub, bar, dan diskotek, perhitungannya menggunakan luas area dalam meter persegi. Dengan tarif yang lebih tinggi, usaha jenis ini wajib memperhitungkan biaya royalti dalam operasional tahunannya.

Penting untuk dicatat bahwa semua perhitungan tersebut bersifat estimatif dan belum termasuk pajak. Nominalnya bisa sedikit berbeda tergantung penghitungan akhir dan kebijakan dari LMKN.

Salah satu pertanyaan yang kerap muncul dari pelaku usaha adalah mengapa suara alam yang diputar tetap harus membayar royalti. Menjawab hal tersebut, Dharma menjelaskan bahwa suara alam yang diputar di tempat usaha biasanya berasal dari rekaman komersial yang dibuat oleh produser fonogram. Produser memiliki hak eksklusif untuk menentukan bagaimana rekaman tersebut digunakan.

“Bagaimana kita pakai sebagai menu hiburan tapi tidak mau bayar? Jangan bangun narasi mau putar rekaman suara burung, suara alam, seolah-olah itu solusi,” kata Dharma.

Ia menegaskan bahwa membangun narasi seolah-olah kewajiban membayar royalti adalah beban yang akan mematikan usaha kecil merupakan pendapat yang tidak berdasar dan keliru. Menurutnya, tarif royalti yang ditetapkan pemerintah melalui LMKN masih dalam batas wajar dan sangat terjangkau jika dibandingkan dengan biaya operasional lainnya dalam menjalankan usaha.

“Ada narasi yang sengaja dibangun keliru, seakan-akan (kami) mau mematikan kafe. Itu keliru sekali, karena dia enggak baca aturannya, enggak baca Undang-Undang. Bahkan belum bayar, sudah kembangkan narasi seperti itu,” jelasnya.

Dharma juga mengingatkan bahwa pembayaran royalti tidak hanya berlaku untuk lagu-lagu lokal, tetapi juga internasional. Hal ini karena Indonesia tergabung dalam perjanjian global pengelolaan hak cipta melalui kerja sama dengan lembaga hak cipta di berbagai negara. Oleh karena itu, pemilik usaha yang memutar lagu-lagu internasional dari artis dunia pun tetap wajib membayar royalti.

Dengan demikian, seluruh bentuk pemanfaatan musik dan rekaman suara di tempat usaha yang dikomersialkan harus melalui jalur pembayaran royalti yang sah. Kewajiban ini tidak hanya bertujuan untuk menghormati hak pencipta, tetapi juga mendorong ekosistem industri musik yang sehat dan adil. (Sumber: Kompas.com, Editor: KBO Babel)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *