KBOBABEL.COM (Jakarta) – Pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Indonesia resmi mengumumkan kerangka kesepakatan kerja sama perdagangan timbal balik yang memuat penurunan tarif impor dan pembahasan transfer data pribadi lintas negara. Dalam pernyataan bersama yang dipublikasikan Gedung Putih, disebutkan bahwa salah satu poin penting dalam kesepakatan ini adalah komitmen Indonesia untuk membuka akses pengiriman data pribadi warga negara Indonesia ke pihak AS. Kamis (24/7/2025)
Pengumuman ini dimuat dalam dokumen berjudul Joint Statement of Framework for United States-Indonesia Agreement on Reciprocal Trade. Dalam kesepakatan ini, tarif impor produk asal Indonesia ke AS ditetapkan sebesar 19 persen, lebih rendah dari ancaman tarif sebelumnya yaitu 32 persen. Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan, penurunan tarif ini merupakan hasil komunikasi langsung dirinya dengan Presiden Indonesia, Prabowo Subianto.
“Indonesia berkomitmen untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa dan investasi digital. Indonesia akan memberikan kepastian terkait kemampuan untuk mentransfer data pribadi keluar dari wilayahnya ke Amerika Serikat,” tulis pernyataan Gedung Putih, dikutip Kamis (24/7/2025).
Pernyataan lanjutan dalam dokumen Fact Sheet: The United States and Indonesia Reach Historic Trade Deal juga menyebut bahwa kemampuan memindahkan data itu akan disertai dengan jaminan perlindungan berdasarkan hukum Indonesia.
“Indonesia akan memberikan kepastian terkait kemampuan untuk memindahkan data pribadi dari wilayahnya ke Amerika Serikat melalui pengakuan Amerika Serikat sebagai negara atau yurisdiksi yang menyediakan perlindungan data yang memadai berdasarkan hukum Indonesia,” lanjut pernyataan tersebut.
Permintaan AS ini berkaitan langsung dengan regulasi pelindungan data pribadi yang berlaku di Indonesia. Saat ini, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Undang-undang tersebut secara resmi akan berlaku efektif mulai Oktober 2024, namun hingga saat ini pemerintah belum membentuk lembaga otoritas yang mengawasi pelaksanaan UU PDP, sehingga implementasinya masih tertunda.
UU PDP memiliki cakupan ekstrateritorial, yang artinya aturan ini juga berlaku terhadap pihak asing yang memproses data pribadi warga negara Indonesia, serta menjamin pelindungan bagi warga negara lain yang datanya diproses di Indonesia.
Salah satu ketentuan penting dalam UU PDP adalah mengenai transfer data pribadi lintas batas negara yang tertuang dalam Pasal 55 dan Pasal 56. Pasal 56 secara tegas mengatur bahwa:
- Pengendali Data Pribadi dapat melakukan transfer Data Pribadi ke luar negeri sesuai ketentuan.
- Negara tujuan transfer data wajib memiliki tingkat pelindungan data pribadi yang setara atau lebih tinggi.
- Jika tidak memenuhi syarat kesetaraan, maka pelindungan data harus dijamin dengan mekanisme yang memadai dan bersifat mengikat.
- Bila dua syarat sebelumnya tidak terpenuhi, maka diperlukan persetujuan dari subjek data pribadi.
- Ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Hal ini berarti, meski AS dan RI membuat kesepakatan perdagangan, transfer data pribadi warga RI ke AS tetap wajib memenuhi syarat perlindungan yang sepadan. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menyebut bahwa tujuan pertukaran data ini bersifat komersial dan bukan untuk pemanfaatan data di luar keperluan perdagangan.
“Jadi tujuan ini adalah semua komersial, bukan untuk data kita dikelola oleh orang lain, bukan juga kita kelola data orang lain. Itu untuk pertukaran barang dan jasa tertentu, yang nanti bisa jadi bercabang dua. Bisa jadi bahan bermanfaat tapi juga bisa jadi barang berbahaya. Itu butuh keterbukaan data, siapa pembeli siapa penjual,” jelas Hasan.
“Jadi kita hanya bertukar data berdasarkan UU Data Perlindungan Data Pribadi kepada yang diakui bisa melindungi dan menjamin data pribadi. Itu juga dilakukan dengan berbagai negara, dengan Uni Eropa, dan segala macam,” tambahnya.
Namun demikian, hingga kini Amerika Serikat belum memiliki undang-undang komprehensif terkait pelindungan data pribadi. Hal ini berbeda dengan Uni Eropa yang telah menerapkan General Data Protection Regulation (GDPR), regulasi yang bahkan menjadi salah satu rujukan utama dalam penyusunan UU PDP di Indonesia.
Ketidakhadiran UU yang setara di AS menyebabkan potensi hambatan dalam transfer data. Dalam praktiknya, pengguna internet dapat melihat perbedaan ini saat mengakses website berbasis di UE yang wajib meminta persetujuan pengguna sebelum memproses data. Sementara itu, website berbasis di AS kerap tidak memberikan mekanisme persetujuan eksplisit.
Dampak dari aturan ini juga akan mempengaruhi perusahaan teknologi berbasis di AS yang beroperasi di Indonesia, seperti Google, AWS, Meta (Facebook, WhatsApp, Instagram), serta layanan penyedia cloud computing. Bila AS tidak dinilai sebagai negara yang memiliki pelindungan data pribadi yang setara, maka perusahaan-perusahaan tersebut harus mendapatkan persetujuan eksplisit dari pengguna sebelum mentransfer data pribadi mereka ke luar negeri.
Tak hanya transfer data, Indonesia juga mengatur kewajiban penyimpanan data melalui Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Dalam aturan tersebut, data sektor publik seperti data pemerintahan dan pertahanan-keamanan wajib disimpan di server yang berada di dalam wilayah Indonesia. Sedangkan data sektor swasta diperbolehkan disimpan di luar negeri, kecuali data transaksi keuangan yang harus tetap berada di Indonesia.
Menanggapi publikasi poin transfer data pribadi yang disampaikan oleh Gedung Putih, Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid menyatakan bahwa pihaknya akan segera berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian untuk membahas lebih lanjut kesepakatan ini.
“Kami ada undangan dari Menko Perekonomian untuk berkoordinasi,” ujar Meutya, Rabu (23/7/2025) di Kompleks Istana Kepresidenan.
Meutya menyebut bahwa koordinasi akan dilakukan pada hari Kamis (24/7/2025). Ia belum dapat memberikan keterangan lebih lanjut mengenai substansi pembahasan.
“Saya besok akan berkoordinasi dulu dengan Menko Perekonomian, saya belum tahu persisnya, topiknya apa, tapi nanti besok tentu akan ada pernyataan dari Menko Perekonomian atau dari kami,” kata Meutya.
Dengan demikian, meskipun terdapat peluang penurunan tarif impor dari AS, pemerintah Indonesia masih perlu berhati-hati dalam menyikapi aspek pelindungan data pribadi. Kesesuaian antara hukum pelindungan data kedua negara menjadi penentu utama apakah kerja sama ini dapat berlangsung tanpa melanggar hak-hak privasi warga negara Indonesia. (Sumber: CNBC Indonesia, Editor: KBO Babel)