Tunjangan Rumah DPR Rp50 Juta/Bulan Bikin Geger, Publik: Rakyat Susah, Mereka Foya-Foya!

Gaji DPR Tembus Rp100 Juta, ICW: “Tidak Patut di Tengah Harga Beras Naik”

banner 468x60
Advertisements

KBOBABEL.COM (JAKARTA) — Sorotan publik kembali mengarah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setelah terungkap besaran gaji dan tunjangan yang diterima setiap anggotanya mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan. Dari jumlah itu, tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan menjadi sorotan utama. Kebijakan tersebut dianggap sebagai bentuk pemborosan anggaran negara dan tidak pantas diberikan di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang semakin sulit. Selasa (19/8/2025)

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, menilai kebijakan itu mencederai etika publik.

banner 336x280

“Warga mendapatkan kesulitan dalam hal hal-hal mendasar, seperti kebutuhan pokok sehari-hari dan ada pajak yang dinaikkan, keputusan soal perumahan ini bukan keputusan yang patut,” ujar Egi kepada BBC News Indonesia, Senin (18/08).

Egi menegaskan, penggunaan anggaran negara sebesar itu hanya untuk tunjangan rumah anggota DPR jelas berlebihan. Ia menghitung, jika tunjangan rumah Rp50 juta per bulan dikalikan 60 bulan masa jabatan dengan 580 anggota DPR, maka total pemborosan anggaran mencapai Rp1,74 triliun.

“Apakah patut mengeluarkan anggaran sedemikian besarnya sampai triliunan rupiah selama 60 bulan ketika DPR menjabat?” tegasnya.

Pendapatan Resmi Lebih dari Rp100 Juta

Isu besaran gaji ini mencuat setelah anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menanggapi pertanyaan mengenai sulitnya mencari uang halal di parlemen. Hasanuddin kemudian mengungkapkan bahwa dirinya menerima gaji pokok ditambah berbagai tunjangan yang jumlahnya melebihi Rp100 juta per bulan.

“Kami ini hanya menerima. Buat saya diberi berapapun saya bersyukur,” kata Hasanuddin.

Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, menjelaskan perbedaan penerimaan anggota DPR periode 2019–2024 dengan periode saat ini terletak pada tambahan tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan. Menurutnya, tunjangan itu diberikan sebagai pengganti fasilitas rumah dinas.

Namun kebijakan tersebut berdasarkan surat Setjen DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024 memicu kritik luas. Pasalnya, selain dinilai boros, alasan penyediaan tempat tinggal dekat gedung DPR juga terbantahkan karena kehadiran anggota DPR dalam sidang kerap tak maksimal sehingga pembahasan legislasi sering terhambat.

Ketidaklayakan Tunjangan

Menurut ICW, pemberian tunjangan rumah justru kontras dengan kondisi rakyat yang tengah menanggung beban berat akibat kenaikan harga bahan pokok, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12%, serta melonjaknya pajak bumi dan bangunan (PBB) di sejumlah daerah.

Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas), harga beras premium pada Senin (18/08) mencapai Rp16.088/kg, lebih tinggi dari harga eceran tertinggi Rp14.900/kg. Sementara beras medium naik menjadi Rp14.260/kg dari Rp12.500/kg.

Selain itu, angka pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) juga meningkat. Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 42.385 pekerja terkena PHK sepanjang Januari hingga Juni 2025, naik 32,19% dibanding periode sama tahun lalu.

Egi menekankan, sebelum adanya tunjangan rumah, anggota DPR sudah menerima berbagai tunjangan besar.

“Itu pun kita juga tetap perlu mempertanyakan kepatutannya. Misalnya, tunjangan beras dan lain sebagainya. Lalu, apa relevansinya untuk mengeluarkan perumahan ini,” ujarnya.

Rincian Tunjangan DPR

Mengacu Surat Edaran Setjen DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 dan Surat Menteri Keuangan nomor S-520/MK.02/2015, tunjangan DPR terdiri atas:

  • Tunjangan istri/suami Rp420.000

  • Tunjangan anak Rp168.000

  • Uang sidang Rp2.000.000

  • Tunjangan jabatan Rp9.700.000

  • Tunjangan beras Rp30.090 per jiwa

  • Tunjangan PPh Pasal 21 Rp2.699.813

  • Tunjangan kehormatan Rp5.580.000

  • Tunjangan komunikasi Rp15.554.000

  • Tunjangan peningkatan fungsi pengawasan Rp3.750.000

  • Bantuan listrik dan telepon Rp7.700.000

  • Asisten anggota Rp2.250.000

Ditambah gaji pokok yang diatur dalam PP No. 75/2000, yakni Rp5.040.000 untuk Ketua DPR, Rp4.620.000 untuk Wakil Ketua, dan Rp4.200.000 untuk anggota. Jika dijumlahkan, anggota DPR membawa pulang setidaknya Rp54 juta per bulan di luar tunjangan rumah, uang perjalanan dinas, dan dana aspirasi.

Kinerja Dipertanyakan

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menyebut tunjangan rumah hanyalah bentuk subsidi besar dari negara.

“Artinya, para anggota dewan ini disubsidi negara dalam jumlah yang cukup besar. Banyaknya variasi subsidi yang diterima anggota DPR ini berbanding terbalik dengan kinerja mereka. Ini ironis,” kata Lucius.

Ketua DPR, Puan Maharani, mengklaim capaian kinerja DPR setahun terakhir adalah menerima 5.642 laporan masyarakat yang ditindaklanjuti dengan rekomendasi kepada pemerintah serta merampungkan 14 RUU.

“Partisipasi publik dibuka seluas-luasnya,” ujar Puan.

Namun realitasnya, beberapa RUU menuai protes publik karena minim partisipasi, seperti RUU Pilkada dan UU TNI. Bahkan, pembahasan dilakukan tertutup di hotel mewah yang diduga menggunakan uang negara.

“DPR memang paling kreatif untuk menemukan jenis tunjangan baru yang dibebankan kepada negara. Tunjangan reses, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan kunjungan kerja. Sekarang, tunjangan perumahan,” ujar Lucius.

Menurutnya, alasan agar anggota DPR bisa tinggal dekat gedung DPR tidak masuk akal, sebab kehadiran anggota dewan pun jarang maksimal.

“Ada banyak sekali jenis tunjangan yang diterima anggota sampai mereka sendiri lupa mengingat satu per satu. Jadi, tunjangan-tunjangan ini seperti strategi untuk menambah pendapatan saja,” tegas Lucius.

Sementara survei Indikator Politik Indonesia Januari 2025 menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap DPR hanya 69%, berada di peringkat ke-10 dari 11 lembaga. Data itu memperkuat pandangan bahwa besarnya tunjangan tidak sebanding dengan kualitas kinerja parlemen.

Alternatif Rumah Dinas

Sejak isu mencuat, kondisi rumah dinas di Kalibata dan Ulujami juga dipertanyakan. Indra Iskandar menyebut banyak rumah rusak, bocor, hingga banjir sehingga dianggap tidak layak huni. Menurutnya, revitalisasi justru akan memakan anggaran lebih besar.

Namun ICW menemukan indikasi ada perencanaan pemeliharaan rumah dinas dengan anggaran Rp374,53 miliar melalui LPSE Setjen DPR. Hal ini memperkuat dugaan bahwa tunjangan rumah Rp50 juta sebulan bukan solusi yang tepat. (Sumber: BBC News, Editor: KBO Babel)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *