Vonis Tom Lembong Tuai Pro Kontra, Mahfud MD: Tidak Ada Mens Rea, Tak Bisa Dipidana

Tom Lembong Tetap Dipenjara meski Tak Diuntungkan, Ini Pertimbangan Hakim

banner 468x60
Advertisements

KBOBABEL.COM (JAKARTA) — Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis 4 tahun 6 bulan penjara kepada mantan Menteri Perdagangan era Presiden Joko Widodo, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong. Ia juga didenda sebesar Rp 750 juta subsidair enam bulan kurungan atas perkara dugaan tindak pidana korupsi kebijakan impor gula tahun 2015–2016. Kamis (24/7/2025)

Putusan ini dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika dalam sidang putusan yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (18/7/2025). Vonis ini menarik perhatian publik karena dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa Tom Lembong tidak menikmati hasil dari tindak pidana korupsi tersebut.

banner 336x280

“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa, Thomas Trikasih Lembong, oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan,” ujar Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika saat membacakan amar putusan.

Tom Lembong dinyatakan bersalah karena kebijakannya dalam menerbitkan izin impor gula kristal mentah (GKM) kepada sejumlah perusahaan swasta dianggap melanggar ketentuan hukum dan menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 194.718.181.818,19 atau sekitar Rp 194,7 miliar.

Namun, vonis ini menimbulkan perdebatan, terutama karena dinilai tidak ada unsur niat jahat atau mens rea dari Tom Lembong. Sejumlah pakar hukum menyampaikan keheranannya, termasuk Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Mahfud MD, yang juga merupakan mantan Menko Polhukam.

“Untuk menghukum seseorang, selain actus reus (perbuatan pidana), masih harus ada mens rea atau niat jahat. Dalam konteks vonis Tom Lembong ini, ternyata tidak ditemukan mens rea atau niat jahat,” kata Mahfud MD dilansir dari Kompas.com pada Selasa, 22 Juli 2025.

Mahfud menjelaskan bahwa seseorang bisa dijerat pidana korupsi jika memenuhi unsur memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, serta dilakukan dengan cara melawan hukum dan menimbulkan kerugian keuangan negara.

“Jadi, meskipun Tom Lembong tidak menerima dana tersebut, tapi jika memperkaya orang lain atau korporasi, maka bisa disangka korupsi jika ditambah unsur melawan hukum dan merugikan keuangan negara,” ujar Mahfud.

Meski demikian, setelah mengikuti seluruh jalannya persidangan, Mahfud menyimpulkan bahwa dalam kasus Tom Lembong, tidak ditemukan unsur mens rea. Ia menilai kebijakan importasi gula yang dilakukan Tom Lembong semata-mata karena menjalankan tugas pemerintahan.

“Dengan demikian, kebijakan yang dilakukan Tom Lembong itu berasal dari hulu yang mengalir kepadanya, untuk diteruskan lagi sampai ke hilir,” ujar Mahfud.

“Menurut saya, tidak ada unsur mens rea sehingga tidak bisa dipidanakan. Dalilnya ‘geen straf zonder schuld‘, artinya ‘tidak ada pemidanaan jika tidak ada kesalahan’. Unsur utama kesalahan itu adalah mens rea. Nah, di kasus Tom Lembong tidak ditemukan mens rea karena dia hanya melaksanakan tugas dari atas yang bersifat administratif,” tambahnya.

Namun, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menilai sebaliknya. Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Anggota Alfis Setiawan dan Purwanto, disebutkan bahwa kebijakan impor gula yang dilakukan Tom Lembong terbukti melawan hukum.

Salah satu bentuk pelanggaran menurut hakim adalah pemberian surat pengakuan sebagai importir GKM kepada PT Angels Products dengan kuota impor sebesar 105 ribu ton pada 12 Oktober 2015. Padahal, berdasarkan rapat koordinasi perekonomian tanggal 2 Mei 2015, stok gula nasional masih mencukupi dan tidak diperlukan impor tambahan.

“Hasil rapat koordinasi tersebut diketahui bahwa ketersediaan gula masih mencukupi sehingga tidak perlu melakukan impor dan berdasarkan data perkiraan produksi dan konsumsi dari Kementerian Perdagangan khususnya gula mengalami surplus,” kata Hakim Alfis Setiawan.

Lebih lanjut, hakim menyebut bahwa penerbitan izin impor tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Perindustrian dan Keputusan Menteri Perdagangan serta Permendag Nomor 117 yang secara jelas mengatur bahwa hanya perusahaan BUMN yang boleh mendapat izin impor gula.

“Penerbitan surat pengakuan melanggar Peraturan Menteri Perindustrian tentang Peraturan Impor Gula,” ujar Hakim Alfis.

“Menimbang bahwa berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas majelis hakim berkesimpulan bahwa unsur secara melawan hukum telah terpenuhi dalam wujud perbuatan terdakwa,” tambah Hakim Purwanto.

Selain unsur melawan hukum, majelis hakim juga mempertimbangkan kerugian negara yang ditimbulkan akibat kebijakan tersebut. Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terdapat kerugian negara mencapai hampir Rp 195 miliar.

“Penerbitan persetujuan impor dalam rangka menjaga ketersediaan dan stabilisasi gula kristal putih (GKP) 2016 sampai semester 1 2017 sebanyak 1.698.325 ton tidak melalui rakor,” ungkap hakim.

Kerugian negara itu antara lain berasal dari selisih bea masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) untuk gula kristal mentah dan gula kristal putih, serta dari transaksi antara PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) dengan pabrik gula swasta yang menjual gula di atas harga pokok penjualan (HPP).

Hakim menyebut bahwa PT PPI membeli gula dari pabrik swasta senilai Rp 9.000 per kilogram, sementara HPP saat itu adalah Rp 8.900 per kilogram.

Menanggapi vonis ini, kuasa hukum Tom Lembong menyatakan akan mengajukan banding. Mereka menilai bahwa kliennya hanya menjalankan tugas administratif dan tidak ada keuntungan pribadi yang diperoleh dari kebijakan tersebut.

Sementara itu, publik dan akademisi terus memperdebatkan apakah seseorang yang tidak memperoleh keuntungan dan tidak memiliki niat jahat masih bisa dihukum atas dasar kesalahan administratif dalam kebijakan publik.

Kasus Tom Lembong pun menjadi perhatian besar karena membuka diskusi lebih luas mengenai batasan antara kesalahan administratif dan tindak pidana korupsi dalam konteks kebijakan negara. Vonis ini juga dinilai bisa menjadi preseden berbahaya jika tidak diimbangi dengan pemahaman tepat mengenai unsur pidana dalam hukum korupsi.

Mahfud MD sendiri menyatakan bahwa seharusnya ada pembenahan dalam sistem penegakan hukum agar tidak mengkriminalisasi pejabat publik yang bekerja menjalankan tugas negara dengan itikad baik namun kemudian dijerat secara hukum hanya karena kesalahan prosedural tanpa niat jahat.

(Sumber: CNBC Indonesia, Editor: KBO Babel)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *