80 Persen Hutan Desa Terong Disulap Jadi Kebun Sawit, Komunitas Diskusi 17 Babel Tagih Aksi Satgas PKH di Pulau Belitung

Hutan Produksi Lenyap, Komunitas 17 Babel Desak Satgas PKH Bongkar Mafia Sawit Belitung

banner 468x60
Advertisements

KBOBABEL.COM (BELITUNG) – Praktik perampasan kawasan hutan produksi (HP) di Kabupaten Belitung semakin menjadi-jadi dan menuai sorotan tajam dari masyarakat sipil. Salah satu yang bersuara keras adalah Sabriansyah, tokoh masyarakat Belitung yang juga tergabung dalam Komunitas Diskusi 17 Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Ia mendesak Satgas Penanganan Kawasan Hutan (PKH) Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk segera turun tangan mengusut dan menertibkan keberadaan “kerajaan sawit” ilegal di wilayah tersebut. Senin (4/8/2025)

Sabriansyah menyebutkan bahwa kawasan yang paling parah mengalami alih fungsi hutan adalah Desa Terong dan Desa Air Seruk, yang berada di Kecamatan Sijuk. Di lokasi ini, menurutnya, praktik pembabatan kawasan hutan produksi untuk dijadikan kebun sawit sudah dilakukan secara sistematis dan masif.

banner 336x280

“Sesuai dengan visi SATOE PULAU SATOE BELITONG, saya mewakili Komunitas Diskusi 17 Belitung Provinsi BABEL, mengapresiasi langkah tegas Satgas PKH menertibkan kawasan hutan di Belitung Timur. Tapi saat ini, kami mendesak agar Satgas segera kembali turun ke Desa Terong. Segel dan tertibkan kebun-kebun sawit yang berdiri di atas kawasan HP seperti yang dilakukan di tempat lain,” ujar Sabriansyah dilansir dari babelterkini.com, Minggu (3/8/2025).

Lebih lanjut, Sabriansyah mengungkapkan bahwa berdasarkan temuan masyarakat, sekitar 80 persen dari kawasan hutan produksi di Desa Terong telah berubah fungsi menjadi perkebunan sawit secara ilegal. Ia menilai hal ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan telah masuk dalam kategori kejahatan lingkungan serius.

“Ini bukan lagi sekadar pelanggaran administratif. Ini murni kejahatan lingkungan berskala besar. Satgas PKH wajib membongkar siapa saja aktor-aktor yang bermain di balik perampasan hutan ini,” tegasnya.

Menurutnya, kejahatan ini bukan berdiri sendiri, melainkan ada dugaan kuat keterlibatan oknum-oknum pemerintahan desa yang turut memfasilitasi penguasaan lahan dengan cara-cara manipulatif. Salah satunya melalui penerbitan surat rekomendasi yang digunakan sebagai landasan hukum palsu dalam jual beli lahan negara.

Lebih miris lagi, Sabriansyah mengatakan penguasaan lahan hutan tersebut diduga difasilitasi oleh oknum pemerintahan desa melalui penerbitan surat rekomendasi yang digunakan sebagai alat legalitas jual beli lahan negara. Surat itu seolah menjadi tameng hukum bagi para pengusaha sawit untuk menguasai kawasan hutan produksi demi kepentingan pribadi.

Ia menambahkan bahwa praktik semacam itu mengindikasikan adanya kejahatan terstruktur dan terorganisir yang menjadikan kawasan hutan sebagai komoditas pasar dengan dalih legalitas dari rekomendasi desa. Ia menyebutkan bahwa pihaknya memiliki indikasi kuat mengenai keterlibatan oknum pemerintahan desa dan meminta Satgas PKH agar menelusuri keterlibatan tersebut secara menyeluruh.

“Kami punya indikasi kuat adanya keterlibatan struktural. Rekomendasi dari pemerintahan desa dipakai untuk menyulap kawasan hutan negara menjadi komoditas pasar. Ini harus diusut sampai ke akar-akarnya,” tambahnya.

Desakan untuk investigasi langsung oleh Satgas PKH ke lokasi yang disebut-sebut dikuasai secara ilegal ini terus menguat. Masyarakat berharap agar instansi terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kejaksaan Agung, dan aparat penegak hukum pusat tidak tinggal diam melihat kerusakan ekosistem yang terjadi di Belitung.

Sabriansyah juga mengingatkan bahwa praktik pembabatan dan alih fungsi hutan tanpa izin jelas melanggar ketentuan hukum yang berlaku, khususnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Undang-undang tersebut mengatur sanksi tegas berupa pidana penjara maksimal 10 tahun serta denda hingga Rp10 miliar bagi pelaku perusakan dan perambahan kawasan hutan tanpa izin resmi dari pemerintah. Menurut Sabriansyah, bukti-bukti administratif maupun visual sudah cukup banyak tersedia dan bisa dijadikan dasar hukum untuk penindakan.

“Bukti visual dan administratif sudah cukup terbuka. Kalau aparat penegak hukum serius, mereka bisa bergerak sekarang. Jangan tunggu hutan kita habis baru sibuk menanam bibit,” tutup Sabriansyah.

(Sumber: Babelterkini.com, Editor: KBO Babel)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *