KBOBABEL.COM (Bangka Belitung) — Skandal penyelundupan timah kembali mencuat. Sebanyak sembilan truk bermuatan pasir timah ilegal dari Pulau Belitung dilaporkan memasuki kawasan industri Jelitik, Sungailiat, Kabupaten Bangka, Senin malam (26/5/2025). Dari sembilan truk tersebut, tujuh di antaranya diduga milik seorang bos timah berinisial AH dari Bakik Jebus,Kabupaten Bangka Barat. Jumat (30/5/2025).
Menurut sumber terpercaya yang enggan disebutkan identitasnya, kendaraan tersebut tiba di Pelabuhan Pelindo II Pangkalbalam menggunakan jasa penyeberangan Kapal Salvina Jakarta sekitar pukul 17.00 WIB. Truk-truk itu lalu bergerak ke gudang milik PT Mitra Stania Prima (MSP) di kawasan industri Jelitik Sungailiat Kabupaten Bangka.
“Benar bang, truk timah itu masuk ke gudang MSP di Jelitik. Truk sama dengan yang keluar dari kapal Salvina Jakarta,” ujar sumber tersebut, Selasa (27/5/2025).
Hingga berita ini diturunkan, pihak PT MSP melalui perwakilannya, Rio, belum memberikan tanggapan meskipun sudah dihubungi melalui pesan WhatsApp.
DPRD Babel: Penegak Hukum Harus Tegas, Jangan Tumpul ke Atas
Menanggapi hal ini, anggota DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Muhtar Montong, menegaskan bahwa persoalan ini menyangkut moral dan keberanian aparat penegak hukum (APH). Ia menyayangkan lemahnya pengawasan di pelabuhan besar yang justru menjadi jalur lalu lintas utama penyelundupan.
“Ini bukan sekadar masalah administrasi. Ini soal keberanian aparat dan moralitas pejabat negara. Penyelundupan timah seperti ini merugikan negara dan daerah,” tegas Muhtar.
Muhtar juga menyoroti dampak ekonomi dari penyelundupan ini, terutama setelah kenaikan tarif royalti timah yang kini mencapai 3 persen. “Kalau barangnya berkurang, untuk apa royalti ditingkatkan? Ini hanya akan membuat kerugian lebih besar bagi PT Timah Tbk maupun pemasukan daerah,” ujarnya.
Lebih jauh, Ketua Komisi III DPRD Babel, Taufik Rizani, mengungkapkan pihaknya telah berkoordinasi dengan Ditreskrimsus Polda Babel terkait maraknya penyelundupan timah dari Belitung ke Bangka.
“Kami mendorong dibangunnya smelter di Belitung agar tidak perlu lagi timah mentah dibawa keluar. Ini untuk mencegah penyelundupan yang mematikan PAD (Pendapatan Asli Daerah),” ujar Taufik.
UU Minerba dan Dugaan Pelanggaran Berlapis
Dalam konteks hukum, tindakan penyelundupan timah ini berpotensi melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan, di antaranya:
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), yang mengatur bahwa setiap pengangkutan dan penjualan mineral harus didasarkan pada Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang disahkan oleh pemerintah.
- Pasal 161 UU Minerba menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan pengangkutan atau penjualan mineral tanpa IUP, IUPK, atau izin lainnya dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
- UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, jika pengangkutan melalui pelabuhan melibatkan kegiatan ekspor ilegal, maka dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penyelundupan barang.
Dari kacamata hukum, aktivitas truk-truk yang mengangkut timah tanpa pengawasan ketat dan tujuan legal yang jelas, serta dugaan keterlibatan PT MSP, menjadi sinyal kuat adanya pelanggaran terstruktur dan sistematis.
Dugaan Keterlibatan Elite, Gubernur Dilema?
Isu makin sensitif ketika publik mulai mengaitkan PT MSP dengan jaringan bisnis elite nasional. Warga Belitung, inisial AD, mempertanyakan keberanian Gubernur Hidayat Arsani menindak PT MSP yang disebut-sebut berada dalam lingkaran bisnis keluarga Presiden Prabowo Subianto.
“Mana mungkin Gubernur kita berani memeriksa RKAB atau IUP PT MSP? Itu perusahaan milik keluarga bapak Presiden,” kata AD, warga Belitung.
Pernyataan ini mencerminkan kekecewaan publik terhadap janji Presiden Prabowo yang mengamanatkan pemberantasan penyelundupan timah antar pulau sebagai prioritas. Kenyataannya, jika benar PT MSP terlibat, maka pelaksanaan amanah itu tak lebih dari sandiwara kosong.
APH dan Pemerintah Daerah Tak Bisa Lagi Menutup Mata
Hingga saat ini, Kapolda Babel Irjen Pol Hendro Pandowo dan Dirreskrimsus Kombes Pol Jojo Sutarjo belum memberikan tanggapan resmi. Ketertutupan ini semakin memperkuat dugaan adanya pembiaran atau bahkan perlindungan terhadap aktivitas ilegal tersebut.
Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum tak bisa terus bersembunyi di balik birokrasi. Ketika kejahatan seperti ini dibiarkan berulang, yang dirugikan bukan hanya keuangan negara, tapi juga lingkungan, kepercayaan publik, dan integritas sistem hukum itu sendiri.
Kini publik menunggu, apakah aparat berani menindak pelanggaran hukum yang melibatkan nama-nama besar, atau justru memilih diam di balik bayang-bayang kekuasaan? (KBO Babel)