KBOBABEL.COM (Bangka) — Sebuah skandal pertanahan mencoreng kawasan konservasi pantai di Kabupaten Bangka. Tanpa dasar hukum yang sah, sebuah villa permanen berdiri megah di kawasan Pantai Takari, Desa Rebo, Kecamatan Sungailiat. Lokasi ini merupakan kawasan Hutan Lindung sekaligus bagian dari program Hutan Kemasyarakatan (HKM) Takari yang dikelola secara resmi oleh Kelompok Tani Tanjung Karang Lestari, berlandaskan izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kamis (18/6/2025)
Ironisnya, pembangunan ini justru bermula dari pemasangan patok secara sepihak oleh seorang bernama Yuli, yang mengaku bertindak atas kuasa dari Dewi (55), warga Palembang.
Mereka mengklaim tanah tersebut merupakan milik pribadi berdasarkan surat tanah nomor 51/DK/1995 atas nama Mardin, yang dikatakan dikeluarkan oleh Pemerintah Kecamatan Sungailiat.
Surat Tanah Misterius Tak Terdata
Klaim tersebut dengan cepat dibantah keras oleh Pemerintah Kecamatan Sungailiat. Setelah dilakukan penelusuran, tidak ditemukan dokumen, arsip, maupun catatan register tanah yang mendukung eksistensi surat tanah tersebut.
Bahkan, pihak kecamatan telah mengeluarkan pernyataan tertulis resmi bahwa nomor surat tersebut tidak pernah tercatat dalam sistem mereka.
Namun yang paling mengejutkan, justru datang dari pihak keluarga almarhum Mardin sendiri. Dalam pernyataan yang disampaikan ke publik, keempat anak kandung dan ahli waris sah Mardin menyatakan secara tertulis bahwa orang tua mereka tidak pernah memiliki sebidang tanah pun di wilayah Pantai Takari.
Tak hanya itu, mereka juga menyatakan bahwa surat kuasa ahli waris yang digunakan oleh Yuli untuk mengklaim tanah tersebut adalah hasil pemalsuan dokumen dan tanda tangan.
“Kami tidak pernah menandatangani surat kuasa ahli waris kepada siapa pun. Tanah di sana pun kami tidak tahu menahu, karena memang tidak pernah menjadi milik orang tua kami,” tegas salah satu anak Mardin.
Lapor ke Polda, Bukti Sudah Ada, Tersangka Masih Bebas
Dengan dasar tersebut, keluarga Mardin pun langsung menempuh jalur hukum dengan melaporkan kasus dugaan pemalsuan dokumen dan penyalahgunaan identitas ke Polda Kepulauan Bangka Belitung.
Bahkan, mereka membawa bukti-bukti otentik berupa tanda tangan asli, dokumen pembanding, serta keterangan tertulis seluruh ahli waris. Hasil pemeriksaan awal dari kepolisian pun mengarah pada pembuktian bahwa tanda tangan dalam surat kuasa tersebut telah dipalsukan.
Namun hingga berita ini diturunkan, pihak terlapor atas nama Yuli belum ditahan, bahkan terkesan tidak tersentuh hukum. Hal ini membuat keluarga Mardin dan kelompok masyarakat pengelola HKM Takari mempertanyakan keseriusan aparat penegak hukum dalam menindak kasus-kasus mafia tanah.
“Bukti sudah jelas, pelaporan sudah lengkap, bahkan dokumen pemalsuan sudah terbongkar. Tapi kenapa belum ada tindakan tegas? Siapa yang membekingi Yuli cs?” ucap perwakilan ahli waris.
Praperadilan Menangkan Pelapor, Tapi Penyelidikan Mandek
Karena lambannya respons aparat, keluarga Mardin pun mengajukan pra-peradilan ke Pengadilan Negeri Pangkalpinang.
Mereka hadir langsung di persidangan dan bersaksi dengan membawa bukti otentik. Dalam putusannya, hakim mengabulkan permohonan pelapor dan memerintahkan Polda Babel untuk melanjutkan proses penyelidikan.
Namun, pasca keputusan tersebut, belum juga terlihat adanya kemajuan penyidikan. Proses hukum seperti berjalan di tempat. Kondisi ini memperkuat dugaan adanya “tembok kekuasaan” yang membentengi pelaku pemalsuan dan perampasan lahan konservasi.
Villa Berdiri di Kawasan Hutan Lindung, KLHK Pernah Turun
Sementara itu, keberadaan bangunan villa di bibir pantai semakin menjadi sorotan. Berdasarkan pengakuan masyarakat dan data lapangan, lokasi tersebut berada dalam kawasan hutan lindung.
Bahkan, pihak KLHK melalui tim Sigambir yang dipimpin Bambang Trisula sudah sempat melakukan inspeksi dan meminta pembongkaran bangunan. Namun, hingga saat ini bangunan belum dibongkar.
Pihak Ibu Dewi tetap bersikeras bahwa tanah tersebut dibeli dari Rahman dan Yuli, warga Dusun Tanjung Ratu.
Namun, nama-nama tersebut kembali dimentahkan oleh anak-anak Mardin yang menyebut tidak ada relasi keluarga, dan tidak pernah ada transaksi atau warisan yang melibatkan mereka.
Masyarakat Takari Terancam Kehilangan Hak Kelola
Skandal ini berdampak langsung terhadap kelangsungan hidup kelompok tani pengelola HKM Takari. Selama ini mereka menggantungkan hidup dari kegiatan konservasi dan usaha pariwisata ramah lingkungan.
Dengan berdirinya villa ilegal, akses masyarakat mulai dibatasi, kawasan hutan mulai dikapling, dan potensi konflik sosial semakin membesar.
“Kami bukan hanya kehilangan ruang hidup, tapi juga kehilangan keadilan. Kami ini rakyat kecil, hanya ingin bisa tetap mencari nafkah di tanah yang kami jaga puluhan tahun,” ungkap warga.
Desakan Publik: Usut Tuntas Sindikat Mafia Tanah di Takari
Kasus Pantai Takari bukan semata soal sengketa lahan. Ini adalah cerminan nyata bagaimana mafia tanah dan dokumen palsu bisa mengacak-acak kawasan lindung dengan beking kekuasaan yang tak terlihat. Aparat hukum kini ditantang untuk membuktikan integritasnya: berpihak pada rakyat dan hukum, atau menyerah pada kekuatan uang dan jaringan gelap.
Saat berita ini dipublis jejaring media KBO Babel masih berupaya menghubungi instansi terkait kepada KPH Sigambir Kota Waringin dan Polda Kep Bangka Belitung terkait tindak hukum apa yang akan dilakukan terhdapan pembangunan villa dikawasan hutan lindung pantai Takari desa Rebo Kabupaten Bangka. (Muhammad Zen/KBO Babel)