KBOBABEL.COM (TEMPILANG) — Suasana pagi di Dermaga Kuarsa Ketapang, Dusun Sika, Kecamatan Tempilang, Bangka Barat, berubah tegang pada Senin (13/10/2025). Sebuah speedboat melaju cepat ke daratan diikuti oleh mobil yang dikenal warga sebagai “mobil Sonia”. Di balik kedatangan itu, nelayan sudah bersiap. Mereka mencurigai adanya aktivitas gelap penyelundupan timah di perairan mereka. Kamis (16/10/2025)
Empat kelompok nelayan dari empat desa — Air Lintang, Benteng Kota, Sinar Surya, dan Tanjung Niur — telah berjaga selama beberapa hari terakhir. Mereka memperhatikan gerak-gerik kapal tanpa bendera yang kerap beroperasi di malam hari.
“Speedboat itu datang bukan untuk ikan,” ujar Baidi, Ketua Nelayan Tempilang, dengan nada tegas. “Laut kami sudah terlalu sering dijadikan tempat sembunyi.”
Nama Baidi sudah lama dikenal sebagai suara keras nelayan Tempilang yang menolak pembiaran terhadap tambang ilegal. Dalam laporan, ia menuding bahwa pembiaran terhadap aktivitas tambang laut ilegal bukanlah ketidaktahuan, melainkan sistem yang sengaja dibiarkan hidup.
“Kalau kami nelayan bisa tahu kapal mana yang curiga, bagaimana mungkin instansi resmi tidak tahu?” ucapnya getir.
Bagi Baidi, laut bukan sekadar sumber nafkah. Sejak kecil ia hidup di atas perahu ayahnya, menyatu dengan ombak dan garam.
“Laut ini ibu kami,” katanya. “Dan sekarang ibu kami sedang dijarah oleh anak-anak yang lupa daratan.”
Aksi Penangkapan di Dermaga Kuarsa
Pagi itu, nelayan yang berjaga tak menunggu lama. Begitu speedboat dan mobil mencurigakan bersandar, mereka segera bergerak. Dengan peralatan seadanya dan koordinasi lewat radio nelayan, mereka menghadang aktivitas mencurigakan tersebut.
Tak lama, Satgasus (Satuan Tugas Khusus) datang setelah menerima laporan dari kelompok pengawas laut.
“Ketika disergap, transaksi sudah terjadi,” jelas Baidi. “Tapi kami sempat menghadang sebelum barangnya dipindahkan. Satgasus datang beberapa menit kemudian dan langsung mengamankan semuanya.”
Dari penyergapan itu, petugas berhasil menyita 524 kilogram timah yang diduga berasal dari aktivitas tambang ilegal di laut Tempilang. Barang bukti kemudian dibawa ke Pos PAM Penimbangan PT Timah untuk proses penimbangan dan pengamanan lebih lanjut.
“Ini hasil kerja kami hari ini,” kata Baharudin, nelayan dari Desa Sinar Surya yang ikut dalam aksi tersebut. “Bukan karena kami ingin dihargai, tapi karena kami ingin laut ini tetap punya harga.”
Luka Lama Pembiaran
Meski keberhasilan nelayan dan Satgasus menuai pujian, mereka menyimpan kekecewaan mendalam terhadap lemahnya pengawasan. Dalam beberapa laporan media lokal seperti, nelayan telah berulang kali meminta agar aktivitas tambang laut di wilayah Tempilang dikendalikan dan kompensasi nelayan dibekukan sementara. Namun, suara mereka jarang ditindaklanjuti.
“Di laut, mesin isap tetap berdengung. Di darat, pejabat tetap berfoto,” ujar Baidi sinis.
Ia menilai banyak pejabat tahu persoalan ini namun memilih diam.
“Bisu yang mahal,” katanya. “Kami ini bukan siapa-siapa, tapi kami tak bisa diam melihat laut kami dijarah.”
Dalam laporan media yang berjudul “Jeritan Nelayan Tempilang dalam Cengkeraman IUP PT Timah,” dijelaskan bahwa wilayah tangkap nelayan kini tumpang tindih dengan izin usaha pertambangan (IUP) milik PT Timah. Kondisi itu membuat nelayan semakin terdesak.
“Dulu laut ini tempat kami mencari makan,” kata seorang nelayan Tanjung Niur dalam laporan tersebut.
“Sekarang kapal besar datang dengan surat izin, tapi di bawah izin itu banyak kapal kecil tanpa nama ikut menambang.”
Media menyebut bahwa saat PT Timah menguasai laut, nelayan justru menjadi korban sistem yang tidak berpihak. Sementara media lain menulis bahwa “jalur gelap” perdagangan timah tetap hidup di balik sistem resmi. Kolektor disebut menawarkan harga lebih tinggi dari PT Timah, mendorong munculnya pasar gelap.
“Nelayan tahu jalur itu ada,” tulis media tersebut, “tapi mereka tak berani bersuara karena bisa diintimidasi bahkan kehilangan pekerjaan.”
Laut Sebagai Saksi Sunyi
Kini, laut Tempilang menjadi saksi dari tata kelola sumber daya yang pincang. Di permukaan tampak tenang, tapi di dasarnya bergolak oleh kepentingan dan permainan izin. Berita5.co.id (2025) dalam laporannya “Kami Butuh Timah Gelap, Bukan Penggelapan Timah” menulis pernyataan seorang nelayan: “Kami bukan menolak tambang, tapi menolak penggelapan. Kami ingin timah tetap di negeri kami, bukan dibawa lari lewat jalur gelap.”
Laporan Ungkapkasus.web.id dan KrimsusTV.online (2025) juga menegaskan bahwa Tempilang adalah jalur utama penyelundupan timah laut yang lolos dari pengawasan, sementara para nelayan kecil justru menjadi penjaga terakhir sumber daya negara.
Pengakuan Oknum dan Ketiadaan Konfirmasi
Seorang narasumber yang enggan disebutkan namanya menyebut bahwa akar masalah penggelapan timah justru berasal dari sistem kepanitiaan tambang yang tidak transparan. “Pembuatan sistem oleh oknum kepanitian itu yang salah,” katanya, Selasa (14/10/2025). “Tata kelola kepanitian penambang harus diperbaiki. Tolong jangan langsung menyudutkan Pak Wastam.”
Tim media Trasberita berupaya melakukan konfirmasi kepada Wastam Tempilang, namun hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi. Beberapa awak media bahkan melaporkan nomor mereka diblokir oleh pihak bersangkutan.
Nelayan Sebagai Penjaga Negeri
Aksi nelayan Tempilang bersama Satgasus menjadi simbol perlawanan rakyat kecil terhadap mafia tambang yang merusak laut dan menjarah sumber daya negara.
“Kalau kami tak bergerak, siapa yang akan bergerak?” ucap Baidi menutup perbincangan. “Laut ini bukan milik pemodal, bukan milik pejabat, tapi milik semua yang hidup dari napasnya.”
Kini, nelayan-nelayan itu kembali ke laut dengan perahu kayu dan jaring tua, namun dengan semangat baru untuk menjaga tanah air dari perampokan sumber daya. Laut Tempilang sore itu kembali tenang, tapi ketenangan itu menyimpan makna.
Di cakrawala, perahu-perahu nelayan tampak seperti titik-titik kesetiaan yang tak tergoyahkan. Mereka bukan aparat, bukan pejabat, tapi penjaga paling setia negeri ini.
Mereka tahu, gelombang akan datang lagi — mungkin lebih besar, mungkin lebih gelap. Tapi selama masih ada keberanian di dada nelayan kecil, laut Tempilang akan terus berbicara tentang kejujuran, keberanian, dan cinta kepada negeri.
Jika laut bisa bicara, ia mungkin akan berbisik kepada mereka:
“Yang menambang mengambil, yang berkuasa membiarkan, tapi yang menjaga selalu nelayan.”
(Sumber : Trasberita.com, Editor : KBO Babel)















