KBOBABEL.COM (BANGKA) — Gejolak masyarakat Desa Rebo, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, kembali memanas menyusul dugaan pembiaran oleh pejabat negara terhadap bangunan villa permanen yang berdiri di atas kawasan hutan lindung Pantai Takari. Bangunan yang diduga tidak memiliki izin apapun itu justru berdiri kokoh di wilayah yang telah lama ditetapkan sebagai bagian dari program Hutan Kemasyarakatan (HKm) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kamis (19/6/2025).
Masyarakat mempertanyakan keberanian dan integritas pejabat Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Babel, yang hingga kini justru bersikap diam dan seolah kehilangan ingatan atas fakta-fakta yang sebelumnya mereka ketahui secara langsung di lapangan.

Melalui konfirmasi tertulis pada Kamis (18/6/2025), Bambang Trisula, selaku Kepala Bidang Perlindungan Lingkungan Hidup dan Kehutanan DLHK Babel, mengaku belum mengetahui keberadaan bangunan tersebut dan justru meminta media untuk mengirimkan dokumentasi dan titik koordinat lokasi agar pihaknya dapat melakukan verifikasi.
“Waalaikumsalam wr wb, terima kasih atas informasinya. Apakah ada data atau foto-foto temuan di lapangannya? Nanti saya akan minta KPH kami untuk verifikasi lapangan terkait informasi ini,” jawab Bambang melalui pesan WA kepada jejaring media KBO Babel.
Sikap ini memantik kemarahan publik. Bagaimana mungkin DLHK bisa mengaku tidak tahu, sementara warga dan pengurus kelompok tani HKm menyebut bahwa Bambang dan tim DLHK pernah turun langsung ke lokasi pada tahun lalu dan bahkan memberikan peringatan kepada pihak yang membangun villa ilegal tersebut.
Pembiaran atau Pura-Pura Lupa?

Sumber-sumber media menyebutkan, bangunan tersebut pernah menjadi perhatian DLHK dan KPHP Sigambir yang kala itu turun langsung ke lokasi bersama aparat desa.
Bahkan, telah disampaikan perintah pembongkaran secara lisan dan disebut-sebut juga secara tertulis.
Namun hingga kini, bangunan tetap berdiri megah. Tidak ada penyegelan. Tidak ada pembongkaran. Tidak ada proses hukum.
“Pernah kok DLHK dan KPHP datang. Sudah bilang itu bangunan harus dibongkar. Tapi sekarang malah pura-pura lupa. Ini ada apa?” kata salah satu tokoh masyarakat Takari kepada media.
Hal ini mengindikasikan dua kemungkinan serius: pembiaran secara sadar atau manuver untuk melindungi kepentingan tertentu yang bertolak belakang dengan tugas dan fungsi kelembagaan.
Pelanggaran UU Jelas Terjadi
Keberadaan bangunan tanpa izin di kawasan hutan lindung jelas melanggar beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, terutama:
Pasal 50 ayat (3) huruf a: Setiap orang dilarang melakukan kegiatan dalam kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
Pasal 50 ayat (3) huruf e: Dilarang mendirikan bangunan tanpa izin dalam kawasan hutan.
Tak hanya itu, jika benar terdapat pemalsuan dokumen klaim warisan, maka pelanggaran ini juga bisa diperluas ke pasal-pasal dalam KUHP terkait pemalsuan dokumen dan penyerobotan tanah, serta UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 94, yang menyebutkan bahwa pejabat yang mengetahui adanya pelanggaran namun tidak menindak bisa dikenai sanksi pidana dan administratif.
Dampak Sosial: Hak Kelola Rakyat Digeser Oleh Mafia Tanah?
Yang paling terdampak dari kejadian ini adalah Kelompok Tani Tanjung Karang Lestari, yang selama ini telah memegang izin resmi dari KLHK dalam skema Hutan Kemasyarakatan (HKm).
Mereka yang selama bertahun-tahun menjaga kawasan itu dari eksploitasi, kini justru kehilangan akses akibat bangunan ilegal yang diduga kuat dibiarkan oleh instansi yang seharusnya menegakkan hukum.
Klaim warisan sepihak dari oknum berinisial Yuli atau Dewi tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Namun entah bagaimana, pembangunan villa permanen di atas tanah negara tetap berjalan. Bahkan informasi dari masyarakat menyebutkan bahwa pihak pemilik bangunan pernah menyampaikan bahwa “semua sudah diatur.”
“Kalau warga miskin salah sedikit langsung digusur. Tapi ini bangun megah di kawasan konservasi kok didiamkan? Jangan-jangan ada oknum pejabat yang bermain,” ujar warga lain.
Amanat UU vs Manuver Kepentingan
Kasus ini menyingkap wajah buram dari tata kelola kehutanan di daerah. Lembaga seperti DLHK dan KPHP sejatinya adalah garda terdepan dalam perlindungan kawasan hutan, bukan sekadar pengumpul dokumentasi.
Mereka memiliki kewenangan melakukan penyegelan, menerbitkan rekomendasi pembongkaran, hingga melaporkan pelanggaran ke aparat penegak hukum.
Diamnya DLHK bisa dimaknai sebagai pengabaian terhadap amanat UU dan bahkan menjadi bagian dari jaringan pembiaran sistemik.
Desakan Publik dan Tanggung Jawab Pejabat Tinggi
Kini, masyarakat dan aktivis lingkungan menuntut tindakan nyata. Gubernur Bangka Belitung, sebagai pimpinan tertinggi daerah, harus turun tangan langsung dan memberi instruksi tegas.
“Kalau DLHK dan KPHP sudah tidak mampu menegakkan aturan, lebih baik mundur. Jangan jadi pengkhianat rakyat dan lingkungan,” ucap salah satu pegiat lingkungan di Pangkalpinang.
Pihak KLHK di pusat juga didesak turun tangan. Bila perlu, Tim Gakkum KLHK harus diturunkan untuk menertibkan dan mengusut aktor di balik pelanggaran ini—termasuk jika ada pejabat daerah yang terlibat atau melakukan pembiaran.
Konfirmasi Masih Mandek
Upaya konfirmasi lanjutan kepada Kusbiono, Kepala KPHP Sigambir, hingga berita ini diturunkan belum membuahkan jawaban. Begitu pula Kepala Dinas LHK Babel yang belum merespons pertanyaan media.
Masyarakat berharap media tidak berhenti mengejar kasus ini, karena mereka melihat upaya diam-diam yang berpotensi “mengamankan” pelanggaran, alih-alih menindak tegas.
Akhir Kata: Antara Keberanian dan Kemunafikan
Kasus villa ilegal di Takari adalah refleksi konflik antara rakyat kecil dan oligarki lokal, antara aturan dan pembiaran, antara keberanian menegakkan hukum dan kemunafikan birokrasi yang kerap bersembunyi di balik alasan administratif.
Apabila pejabat lingkungan hidup dan kehutanan tak bisa bersikap tegas dalam perkara terang-benderang ini, maka publik akan menyimpulkan satu hal: hutan lindung Takari bukan hanya dikuasai secara ilegal oleh mafia tanah, tetapi juga telah dijual secara diam-diam oleh pembiaran oknum pejabat.
Publik menanti: bukan klarifikasi, bukan dokumentasi, tapi eksekusi. (M.Zen/KBO Babel)