KBOBABEL.COM (PANGKALPINANG) – Kasus dugaan korupsi tata kelola timah Bangka Belitung (Babel) jilid II kembali memunculkan sejumlah nama baru yang tengah dibidik oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Salah satu nama yang disebut adalah Tomi, anak dari seorang pengusaha bangunan ternama di Pangkalpinang. Kamis (2/1/2025)
Informasi yang beredar menyebutkan, Tomi diduga terlibat sebagai pembisnis timah ilegal dan memiliki keterkaitan dengan salah satu smelter besar di Babel. Bahkan, Tomi dikabarkan turut dilaporkan oleh PT Timah Tbk ke Kejagung dalam rangkaian penyidikan kasus korupsi tata kelola timah yang ditaksir merugikan negara hingga Rp300 triliun.
“Tomi anak pengusahaan, kaitannya dengan Smelter yang kasus timah 300 triliun,” ungkap seorang sumber yang enggan disebutkan namanya, Rabu (1/10/2025).
Sumber tersebut menambahkan, selain Tomi, PT Timah juga melaporkan sejumlah kolektor timah lainnya yang diduga kuat terlibat dalam praktik pengelolaan timah ilegal di Babel.
“Yang dilaporkan PT Timah ke Kejagung salah satunya Tomi,” ujarnya menegaskan.
Upaya konfirmasi kepada Tomi hingga berita ini diturunkan belum mendapatkan jawaban. Beberapa kali dihubungi melalui telepon, Tomi tidak merespons.
Kejagung Belum Berikan Penjelasan
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, ketika dikonfirmasi mengenai adanya sejumlah nama besar kolektor timah yang tengah diburu, belum memberikan keterangan resmi. Namun, ia tidak membantah bahwa proses penyidikan masih terus berjalan untuk membongkar jaringan besar dalam kasus tata kelola timah ini.
Diketahui, penyidikan kasus tata kelola timah jilid II menjadi perhatian nasional setelah Kejagung berhasil mengungkap keterlibatan banyak pihak mulai dari pengusaha, pemilik smelter, hingga pihak-pihak yang berperan sebagai kolektor timah ilegal. Nilai kerugian negara yang fantastis dalam kasus ini menempatkan Babel sebagai pusat sorotan dalam pemberantasan korupsi sektor pertambangan.
Nama-Nama Lain yang Turut Dilaporkan
Selain Tomi, dua nama lain yang juga disebut dilaporkan PT Timah ke Kejagung adalah Athaw alias Baladewa dan Rizal Mustakin alias Gatot Kaca. Keduanya dikenal sebagai kolektor timah besar di Babel.
Langkah PT Timah melaporkan para kolektor timah ilegal ini dinilai sebagai bagian dari upaya perusahaan untuk mendukung proses hukum dan membersihkan praktik bisnis timah di wilayah Babel dari permainan ilegal.
Penyegelan Rumah Mewah
Seiring dengan pengembangan penyidikan, Kejagung pada Selasa (30/9/2025) malam melakukan operasi di Kecamatan Parittiga, Kabupaten Bangka Barat. Dalam operasi tersebut, sejumlah kolektor timah ilegal diburu, bahkan rumah mewah milik seorang pengusaha bernama Agat turut disegel.
Tindakan penyegelan ini memperkuat indikasi bahwa Kejagung mulai mempersempit ruang gerak para pelaku bisnis timah ilegal. Kejagung dinilai serius mengusut aliran dana dan jaringan bisnis yang terlibat dalam praktik yang merugikan negara ini.
Sorotan Publik
Kasus dugaan korupsi tata kelola timah Babel jilid II bukan hanya menyeret nama-nama pengusaha, tetapi juga menimbulkan sorotan publik terhadap praktik pertambangan timah di Babel yang sejak lama dikenal sarat dengan persoalan ilegalitas.
Masyarakat berharap Kejagung tidak tebang pilih dalam menindak para pelaku, termasuk mereka yang memiliki latar belakang keluarga pengusaha besar sekalipun.
“Jangan hanya pekerja tambang kecil yang ditangkap, tapi kolektor besar dan pemilik smelter juga harus ditindak tegas,” ujar seorang warga Belitung saat dimintai tanggapan.
Hingga kini, publik menunggu langkah Kejagung berikutnya, termasuk kemungkinan pemanggilan Tomi dan sejumlah nama lain yang sudah masuk dalam radar penyidikan. Kasus ini diyakini akan terus bergulir, dan bukan tidak mungkin akan menyeret lebih banyak pihak dari kalangan pengusaha maupun pejabat.
Dengan penyidikan yang masih berlangsung, Kejagung diharapkan mampu menuntaskan kasus tata kelola timah Babel jilid II ini secara transparan dan menyeluruh. Pasalnya, praktik timah ilegal selama ini bukan hanya merugikan negara secara ekonomi, tetapi juga menimbulkan kerusakan lingkungan dan merugikan masyarakat di wilayah pertambangan. (Sumber : Bangka Independent, Editor : KBO Babel)