KBOBABEL.COM (PANGKALPINANG) – Proyek pembangunan Puskesmas Pembantu (Pustu) di Kelurahan Melintang, Kecamatan Rangkui, Kota Pangkalpinang, menuai sorotan publik. Pasalnya, proyek dengan nilai anggaran Rp 869 juta yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) APBD Kota Pangkalpinang tahun 2025 ini diduga menggunakan sebagian material bekas dari bangunan lama, bukan seluruhnya dengan material baru sebagaimana mestinya. Jum’at (3/10/2025)
Pantauan di lapangan, sejumlah sisa beton dari bangunan lama terlihat masih berserakan dan sengaja tidak dibongkar habis. Bahkan, pecahan-pecahan beton tersebut justru dijadikan timbunan urukan untuk pondasi lantai bangunan baru Pustu Melintang. Padahal, dalam perencanaan teknis, timbunan urukan pondasi lantai harus menggunakan pasir baru.
Praktik ini tentu menimbulkan tanda tanya publik. Sebab, dalam setiap proyek pembangunan yang menggunakan dana rakyat, apalagi proyek pemerintah, bahan material yang dipakai semestinya sesuai dengan perencanaan (RAB) yang telah ditetapkan, bukan diganti dengan material bekas dari pembongkaran.
Pengakuan Pihak Dinas
Ketika hal ini dikonfirmasi, Plt Kepala Dinas Kesehatan Kota Pangkalpinang, Muhamad Thamrin, melalui Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) proyek, Tiar, pada Selasa (30/9/2025), memberikan penjelasan.
Tiar membenarkan bahwa dalam perencanaan awal, timbunan pondasi lantai memang menggunakan material pasir.
“Untuk timbunan lantai dalam perencanaan awal memang pasir,” katanya.
Namun ia juga mengakui adanya pemakaian material lama berupa sisa pecahan beton bangunan sebelumnya yang dipakai sebagai timbunan.
“Sisa beton lama, otomatis dipakai untuk urukan. Memang kita lihat ada sisa pecahan beton lama dijadikan timbunan di dalam,” ujarnya.
Menurut Tiar, penggunaan material lama tersebut mengakibatkan pemakaian pasir menjadi berkurang dari jumlah yang telah direncanakan.
“Urukan pasir ada, tapi tidak sebanyak RAB awal,” sebutnya.
Lebih lanjut, Tiar menyebutkan bahwa adanya perubahan pemakaian material tersebut berimbas pada perubahan perhitungan RAB.
“RAB-nya berubah, tetapi ada CCO (Contract Change Order). Kekurangan volume urukan pasir setelah dihitung bisa di-CCO-kan, dialihkan untuk pekerjaan lain,” jelasnya.
Namun demikian, ia menegaskan gambar perencanaan pembangunan tidak mengalami perubahan.
“Kalau gambarnya tidak berubah,” beber Tiar.
Sorotan Publik dan Pertanyaan Kinerja
Fakta adanya pemakaian material lama dalam pembangunan proyek Pustu Melintang ini menimbulkan tanda tanya publik. Pasalnya, pasir sebagai material timbunan lantai bukanlah material langka di Bangka Belitung, bahkan ketersediaannya sangat melimpah. Sehingga alasan efisiensi dengan memanfaatkan pecahan beton lama dipandang tidak masuk akal.
Publik juga mempertanyakan kinerja pihak penyedia jasa (kontraktor) serta fungsi pengawasan dari instansi terkait. Dalam logika proyek pemerintah, penyedia jasa tidak boleh mengerjakan pembangunan berdasarkan “selera pemborong”, melainkan harus patuh pada perencanaan (RAB) yang sudah ditetapkan sejak awal.
“Kalau memang ada item pekerjaan urukan pasir, seharusnya itu dikerjakan sesuai RAB, bukan diganti dengan pecahan beton lama. Kalau sampai ada pengalihan material, maka di situlah pentingnya peran pengawasan untuk meluruskan, bukan justru membiarkan,” ujar seorang warga Melintang yang enggan disebutkan namanya.
Potensi Masalah Hukum dan Kualitas Bangunan
Praktik penggunaan material lama untuk urukan lantai ini tidak hanya menimbulkan persoalan transparansi anggaran, tetapi juga berpotensi menurunkan kualitas bangunan. Sebab, timbunan pondasi yang menggunakan pecahan beton berisiko membuat lantai tidak stabil atau mengalami keretakan di kemudian hari.
Dari sisi hukum, hal ini juga bisa masuk kategori penyimpangan teknis dan penyalahgunaan anggaran apabila tidak sesuai dengan perencanaan. Meski Tiar menyebutkan adanya mekanisme CCO untuk menyesuaikan, publik menilai mekanisme tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk membenarkan penggunaan material bekas pada proyek pembangunan baru.
“Kalau alasan CCO hanya untuk menutupi kekurangan volume pasir, publik wajar curiga. Karena dari awal sudah ada anggaran jelas, kenapa harus pakai material bekas?” ucap seorang aktivis pemuda Pangkalpinang.
Transparansi Jadi Tuntutan
Dengan nilai proyek mencapai Rp 869 juta, publik menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan pembangunan Pustu Melintang ini. Apalagi proyek ini menggunakan dana dari pajak rakyat, sehingga kualitas dan penggunaannya harus benar-benar sesuai perencanaan.
“Jangan sampai pembangunan yang seharusnya untuk meningkatkan layanan kesehatan masyarakat justru bermasalah sejak awal. Kalau dibiarkan, ini bisa jadi preseden buruk untuk proyek-proyek pemerintah lainnya,” tambah aktivis tersebut.
Kasus dugaan penggunaan material bekas pada proyek Pustu Melintang ini kini menjadi perbincangan hangat di kalangan warga Kota Pangkalpinang. Banyak yang berharap agar aparat pengawas internal maupun lembaga terkait segera turun tangan memeriksa, sehingga ada kejelasan apakah pembangunan sudah sesuai aturan atau ada penyimpangan yang harus dipertanggungjawabkan.
Hingga kini, proyek pembangunan Pustu Melintang masih berlangsung. Namun, sorotan publik semakin tajam, terutama terkait penggunaan material bekas yang dianggap tidak sejalan dengan prinsip pembangunan baru. (Sumber : Kabar One, Editor : KBO Babel)