Komisi Kejaksaan: Produk Jurnalistik Bukan Alat Bukti Obstruction of Justice

Ketua Komjak Tegaskan Tak Bisa Dijadikan Bukti Perintangan Penyidikan

banner 468x60
Advertisements

KBOBABEL.COM (Jakarta) – Ketua Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (Komjak), Pujiyono Suwadi, menegaskan bahwa produk jurnalistik tidak dapat dikenai pasal obstruction of justice (OJ) atau perintangan penyidikan. Hal ini disampaikannya merespons kasus Direktur Televisi Swasta yang ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan perintangan penyidikan kasus impor gula oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Senin (5/5/2025)

“Saya agak beda pendapat tentang obstruction of justice yang kebetulan mengena kepada insan media. Produk media, produk jurnalistik, sekejam apa pun, senegatif apa pun, itu tidak bisa dijadikan sebagai delik termasuk delik OJ,” ujar Pujiyono dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (2/5).

banner 336x280

Perbedaan OJ di UU Tipikor dan KUHP

Pujiyono menjelaskan perbedaan obstruction of justice sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Menurutnya, KUHP hanya mengatur tindakan yang secara langsung menghambat proses hukum, sementara UU Tipikor memiliki pendekatan lebih ketat.

“Kalau di KUHP itu bedanya adalah yang strictly, yang obvious and famous obstruction, jadi tindakan-tindakan yang secara langsung itu menghambat. Tapi kalau di dalam UU korupsi, sekecil apa pun yang dianggap menghambat, itu harus kemudian dianggap sebagai tindakan penghambat,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa produk jurnalistik tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan yang menghambat proses penyidikan hukum.

“Produk jurnalistik, sekeras apa pun kritiknya, merupakan bagian dari mekanisme check and balance dalam sistem penegakan hukum,” katanya.

Pujiyono juga menilai pengawasan internal saja tidak cukup untuk menjamin transparansi. Oleh karena itu, diperlukan peran jurnalistik sebagai pengawas eksternal.

“Pengawasan internal enggak cukup. Butuh juga pengawasan dari publik, termasuk jurnalistik,” imbuhnya.

Kasus Tian Bahtiar

Menanggapi kasus yang melibatkan Direktur Televisi Swasta, Tian Bahtiar, Pujiyono menekankan bahwa yang dijadikan alat bukti dalam kasus tersebut bukanlah produk jurnalistik, melainkan peran pelaku sebagai direktur pemberitaan serta adanya dua alat bukti lainnya.

“Produk jurnalistik yang dia hasilkan, itu tidak, sama sekali tidak masuk. Tapi ada alat bukti, dua alat bukti yang lain itu yang mengalir,” katanya.

Ia juga menyebut Dewan Pers telah menyampaikan pandangan serupa melalui pernyataan bersama dengan Pusat Penerangan Hukum (Puspenkum) Kejagung. Pernyataan ini menegaskan bahwa produk jurnalistik tidak dapat diperlakukan sebagai alat bukti perintangan penyidikan.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengalihkan status penahanan Tian Bahtiar menjadi tahanan kota sejak 24 April 2025.

“Sejak tanggal 24 April 2025 terhadap tersangka TB oleh penyidik telah dilakukan pengalihan penahanan dari yang selama ini dilakukan tahanan rutan menjadi tahanan kota di Bekasi,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, Senin (28/4).

Fungsi Jurnalistik Sebagai Pengawasan

Dalam diskusi tersebut, Pujiyono menegaskan kembali pentingnya jurnalistik dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap penegakan hukum. Ia mengingatkan bahwa keberadaan media adalah bagian dari demokrasi yang sehat.

Dengan adanya kasus ini, Komisi Kejaksaan berharap aparat penegak hukum dapat lebih berhati-hati dalam menangani perkara yang melibatkan media, agar tidak mengancam kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi. (Sumber: CNN Indonesia, Editor: KBO Babel)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *