Merasa Didiskriminasi, Dokter Ratna Minta MK Izinkan Rekomendasi Majelis Kesehatan Bisa Diuji PK

Dokter Ratna Gugat UU Kesehatan ke MK, Nilai Rekomendasi MDP KKI Langgar Hak Konstitusional

banner 468x60
Advertisements

KBOBABEL.COM (JAKARTA) — Seorang dokter anak, Ratna Setia Asih, mengajukan uji materi terhadap Pasal 307 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dokter Ratna menggugat pasal tersebut karena merasa dirugikan atas adanya rekomendasi Majelis Disiplin Profesi Konsil Kesehatan Indonesia (MDP KKI) yang menilainya melanggar standar profesi dan meneruskan kasusnya ke tahap penyidikan. Sabtu (18/10/2025)

Permohonan pengujian tersebut teregistrasi dengan Nomor Perkara 175/PUU-XXIII/2025 dan disidangkan pada Jumat (10/10/2025) di Ruang Sidang MK Jakarta. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan itu, kuasa hukum Pemohon, Hangga Oktafandany, menjelaskan bahwa rekomendasi dari MDP KKI telah menimbulkan akibat hukum serius bagi kliennya, namun tidak memiliki ruang untuk diuji atau diajukan peninjauan kembali.

banner 336x280

“Rekomendasi dari Majelis tidak terdapat ruang untuk diuji kebenarannya melalui peninjauan kembali atau upaya hukum lainnya,” ujar Hangga dalam sidang.

Menurut Hangga, surat rekomendasi MDP KKI disampaikan kepada penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Kepulauan Bangka Belitung atas permintaan penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 308 UU Kesehatan. Surat itu kemudian menjadi dasar penetapan tersangka atas nama dr. Ratna Setia Asih, Sp.A., M.Kes.

Dalam Pasal 307 UU Kesehatan disebutkan, “Putusan dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304 dapat diajukan peninjauan kembali kepada Menteri dalam hal: a. Ditemukan bukti baru; b. Kesalahan penerapan pelanggaran disiplin; atau c. Terdapat dugaan konflik kepentingan pada pemeriksa dan yang diperiksa.”

Namun, menurut Pemohon, pasal tersebut hanya mengatur objek “putusan” sebagai dasar peninjauan kembali, tidak termasuk “rekomendasi” dari majelis. Akibatnya, pihak yang dirugikan oleh rekomendasi tidak memiliki mekanisme hukum untuk menguji kebenarannya.

“Frasa objek tunggal dalam norma dimaksud mengandung makna hanya ‘putusan dari majelis’ yang dapat diajukan peninjauan kembali, sedangkan ‘rekomendasi dari majelis’ tidak,” terang Hangga.

Ratna mengaku tidak pernah menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP), tidak pernah menjalani persidangan pelanggaran profesi, tidak menerima putusan majelis, dan tidak memperoleh salinan rekomendasi tersebut. Ia menilai proses yang dijalankan MDP KKI tidak transparan dan melanggar asas keadilan.

Selain itu, Ratna menyoroti adanya perlakuan berbeda terhadap dirinya dibanding tujuh dokter lain yang turut diperiksa. Ia mengatakan, hanya namanya yang disebut dalam rekomendasi untuk diteruskan ke penyidikan, sedangkan tujuh dokter lainnya tidak disebut apakah diteruskan atau tidak.

“Pemohon berpendapat telah terjadi diskriminasi oleh MDP KKI. Apa yang membedakan dengan Pemohon sehingga dapat diputus melanggar standar profesi, padahal standar profesinya sendiri belum disusun dan ditetapkan oleh Menteri,” jelas kuasa hukum Pemohon.

Dampak rekomendasi tersebut, lanjutnya, sangat merugikan Ratna baik secara profesional maupun pribadi. Status tersangka yang melekat membuat kinerjanya terganggu, reputasi rusak, serta keluarganya merasa tertekan oleh pemberitaan di media dan pandangan masyarakat.

“Pemohon tidak ditahan, tetapi wajib lapor dua kali seminggu yang kini menjadi satu kali. Namun berapa pun kali wajib lapor dilakukan, kriminalisasi ini tetap merampas kemerdekaan Pemohon,” ujar Hangga menegaskan.

Selain itu, Ratna mengaku status tersebut menghambat rencananya untuk melanjutkan pendidikan subspesialis. Ia menilai norma dalam Pasal 307 telah melanggar hak konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Pasal 27 ayat (1) menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, sementara Pasal 28D ayat (1) menjamin hak atas pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil.

“Norma ini telah menimbulkan perlakuan yang tidak adil dan diskriminatif bagi Pemohon. Tidak adanya mekanisme hukum untuk mengoreksi rekomendasi MDP KKI melanggar prinsip kesetaraan di hadapan hukum,” tegasnya.

Dalam petitumnya, Ratna meminta MK menyatakan frasa “Putusan dari majelis” dalam Pasal 307 UU Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945, serta meminta agar ditambahkan frasa “dan/atau Rekomendasi dari majelis” sehingga memungkinkan rekomendasi juga dapat diajukan peninjauan kembali.

Dengan tambahan itu, pasal diusulkan berbunyi: “Putusan dari majelis dan/atau Rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304 dapat diajukan peninjauan kembali kepada Menteri dalam hal…”

Sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Enny Nurbaningsih itu kemudian memberikan sejumlah catatan kepada Pemohon. Hakim Enny menilai Pemohon belum menjelaskan secara jelas hubungan antara pasal yang diuji dengan pasal-pasal UUD 1945 yang dijadikan batu uji.

“Kalau saya baca di sini, putusan dari majelis yang dipersoalkan, pertentangannya dengan Pasal 27 ayat (1), tapi tidak jelas pertentangannya seperti apa yang belum digambarkan. Kemudian dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar tadi. Itu harus diuraikan semua. Benar enggak ada persoalannya di situ? Dibangun argumentasi yang kuat supaya sampai ke petitum,” ujar Enny.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat kemudian menutup sidang dengan memberikan waktu kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan dalam jangka waktu 14 hari kerja. “Perbaikan permohonan paling lambat harus diterima Mahkamah pada Kamis, 23 Oktober 2025 pukul 12.00 WIB,” ujar Arief.

Perkara ini menambah daftar pengujian norma dalam UU Kesehatan yang diajukan ke MK sejak undang-undang tersebut disahkan pada 2023. Banyak pihak, termasuk organisasi profesi kesehatan, sebelumnya juga menggugat beberapa pasal yang dinilai mengancam independensi tenaga medis dan hak perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan.

Langkah dokter Ratna dinilai sebagai bentuk upaya hukum untuk memperoleh keadilan dan perlakuan setara dalam sistem hukum, terutama bagi tenaga medis yang menghadapi persoalan etik dan disiplin profesi di bawah pengawasan MDP KKI. (Sumber : MK RI, Editor : KBO Babel)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *