MK Tolak Gugatan Andi Kusuma–Budiyono di Pilkada Bangka 2025

Permohonan Tidak Jelas, MK Tegaskan Gugatan Andi Kusuma–Budiyono Berpotensi Hilangkan Suara Pemilih

banner 468x60
Advertisements

KBOBABEL.COM (JAKARTA) — Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk memproses lebih lanjut gugatan perselisihan hasil pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bangka Tahun 2025 yang diajukan pasangan calon nomor urut 4, Andi Kusuma–Budiyono. Permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima lantaran tidak memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam hukum acara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Selasa (30/9/2025)

Putusan dengan nomor perkara 332/PHPU.BUP-XXIII/2025 ini dibacakan oleh Majelis Hakim Konstitusi dalam Sidang Pengucapan Putusan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, pada Selasa (29/9/2025).

banner 336x280

Dalam pertimbangannya, MK menegaskan bahwa permohonan yang diajukan Pemohon tidak jelas atau kabur (obscuur libel), khususnya dalam hal objek sengketa yang dipersoalkan.

Objek Sengketa Tidak Jelas

Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang membacakan pertimbangan hukum menyebut, Pemohon hanya menyebutkan adanya keputusan KPU Kabupaten Bangka pada tanggal 2 September 2025 pukul 17.00 WIB tanpa mencantumkan nomor dan judul keputusan secara lengkap.

Padahal, menurut MK, penetapan hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bangka Tahun 2025 dilakukan melalui Keputusan KPU Kabupaten Bangka Nomor 406/2025.

“Kejelasan objek merupakan sebuah keniscayaan dalam merumuskan petitum karena berkenaan dengan hasil perolehan suara yang sah. Namun Pemohon tidak menuliskan nomor dan judul keputusan dengan lengkap pada seluruh bagian permohonan, baik pada perihal, posita, maupun petitum,” tegas Arief sebagaimana dikutip dari laman resmi MK, Senin (29/9/2025).

Ketidakcermatan tersebut, lanjut Mahkamah, menjadikan permohonan kabur sehingga sulit untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Objek sengketa yang tidak tegas membuat MK tidak bisa menilai apakah dalil yang diajukan memang relevan dengan hasil penetapan KPU yang digugat.

Petitum Tidak Konsisten dan Bertentangan

Selain masalah objek, MK juga menyoroti ketidakkonsistenan dalam petitum atau permohonan yang diminta Pemohon. Dalam gugatannya, Andi Kusuma–Budiyono meminta Mahkamah untuk mendiskualifikasi pasangan calon nomor urut 1 dan nomor urut 5. Namun dalam waktu bersamaan, Pemohon juga meminta agar MK langsung menetapkan dirinya sebagai pemenang Pilkada Bangka 2025–2030.

Majelis menilai, permohonan yang diajukan dengan cara kumulatif tersebut menimbulkan persoalan hukum. Pasalnya, Pemohon tidak memulai permohonan dengan meminta pembatalan hasil perolehan suara sebagaimana ditetapkan KPU, baik secara keseluruhan maupun terhadap pasangan calon tertentu.

“Pada petitum angka 3 dan angka 4, Pemohon memohon agar Mahkamah mendiskualifikasi Paslon 1 (Pihak Terkait I) dan Paslon 5 (Pihak Terkait II). Namun pada saat bersamaan Pemohon juga memohon Mahkamah untuk menetapkan dirinya bersama Budiyono sebagai bupati dan wakil bupati terpilih. Petitum tersebut dimintakan tidak secara alternatif tetapi secara kumulatif, sehingga seluruh permohonan diminta dikabulkan sekaligus,” jelas Arief.

Menurut Mahkamah, isi permohonan tersebut menimbulkan kontradiksi. Jika diskualifikasi terhadap paslon lain benar-benar dilakukan, seharusnya Pemohon juga meminta tindak lanjut berupa pemungutan suara ulang (PSU) tanpa diikuti paslon yang didiskualifikasi, atau setidaknya meminta pembatalan keputusan KPU terkait penetapan pasangan calon peserta pemilihan.

Namun, Pemohon hanya meminta dirinya langsung ditetapkan sebagai pemenang, tanpa proses lanjutan yang jelas.

Menimbulkan Ketidakpastian Hukum

Dalam amar pertimbangannya, Mahkamah menegaskan bahwa jika petitum Pemohon dikabulkan, maka akan timbul ketidakpastian hukum terhadap suara sah pemilih yang telah memilih Paslon 1 dan Paslon 5.

“Permintaan Pemohon tidak logis dan berpotensi meniadakan suara sah pemilih. Hal ini justru akan menimbulkan konsekuensi hukum berupa hilangnya nilai suara masyarakat, sehingga proses demokrasi yang seharusnya menjamin keterwakilan rakyat menjadi tidak bermakna,” ungkap Arief.

Mahkamah menekankan, dalam sistem demokrasi, diskualifikasi atau pembatalan keikutsertaan pasangan calon tidak serta-merta bisa dijadikan dasar untuk menetapkan pasangan calon lain sebagai pemenang. Sebab, kemenangan harus ditentukan melalui perolehan suara sah yang diperoleh dalam pemungutan suara langsung, umum, bebas, dan rahasia.

“Jika permohonan Pemohon dikabulkan, hal itu akan menimbulkan implikasi berupa pembatalan hasil pemilihan dengan menghilangkan sebagian besar suara pemilih tanpa kejelasan kelanjutan proses pemilu. Ini jelas bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat,” tegas Mahkamah.

Petitum Tidak Dapat Dilaksanakan

Mahkamah Konstitusi juga menilai bahwa petitum Pemohon tidak dapat dilaksanakan apabila dikabulkan. Pasalnya, permohonan tersebut tidak memberikan jalan keluar yang sesuai dengan hukum positif mengenai tindak lanjut dari diskualifikasi pasangan calon tertentu.

Seharusnya, jika memang ada dalil kuat mengenai pelanggaran yang dilakukan pasangan calon lain, Pemohon bisa meminta PSU atau pembatalan penetapan KPU atas pasangan calon terkait. Namun, hal itu tidak dilakukan.

Sebaliknya, Pemohon hanya fokus agar dirinya dinyatakan sebagai pemenang. Pola petitum seperti ini dinilai oleh Mahkamah tidak relevan untuk dipertimbangkan karena berpotensi mengabaikan hak pilih masyarakat.

Hilangnya Nilai Suara Pemilih

Dalam putusannya, MK juga menekankan pentingnya menjaga nilai suara rakyat sebagai bagian dari kedaulatan rakyat. Menghilangkan suara pemilih tanpa mekanisme yang sah sama artinya dengan meniadakan prinsip demokrasi.

“Dari uraian fakta hukum di atas, jika Mahkamah mengabulkan petitum dimaksud, akan menimbulkan konsekuensi hukum hilangnya suara pemilih. Pemohon bisa ditetapkan sebagai bupati dan wakil bupati terpilih tanpa hasil perolehan suara yang valid atau sah. Hal demikian jelas bertentangan dengan prinsip pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil,” papar Arief.

Mahkamah menambahkan, praktik seperti itu justru akan menimbulkan preseden buruk dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Sebab, bisa saja pasangan calon lain yang kalah kemudian meminta kemenangan secara otomatis hanya dengan mengajukan diskualifikasi terhadap pesaingnya, tanpa harus melalui mekanisme suara rakyat.

Amar Putusan

Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, Mahkamah Konstitusi memutuskan:

  1. Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

  2. Permohonan dianggap kabur (obscuur libel) karena tidak jelas mengenai objek sengketa.

  3. Petitum Pemohon dinilai tidak konsisten, saling bertentangan, serta tidak dapat dilaksanakan.

Putusan ini bersifat final dan mengikat, sehingga tidak ada upaya hukum lain yang bisa dilakukan oleh Pemohon.

Respons Publik

Putusan MK ini mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Beberapa pengamat hukum menilai, perkara ini menjadi contoh nyata pentingnya kejelasan dalam merumuskan objek sengketa dan petitum dalam perkara PHPU.

“Gugatan pemilu itu sifatnya teknis dan detail. Jika nomor keputusan saja salah atau tidak dicantumkan, bisa berakibat fatal. Apalagi jika petitumnya tidak konsisten. MK jelas akan menolak karena itu menyangkut kepastian hukum,” ujar Ahmad Fadli, pengamat hukum tata negara dari Universitas Indonesia.

Sementara itu, pihak KPU Kabupaten Bangka menyambut baik putusan tersebut. Mereka menilai MK telah menegakkan hukum dengan adil dan menegaskan bahwa hasil penetapan yang dilakukan KPU sudah sesuai prosedur.

“Kami sejak awal meyakini penetapan hasil Pilkada Bangka 2025 sudah sesuai aturan. Putusan MK ini menjadi bukti bahwa proses penyelenggaraan telah berjalan dengan benar,” kata Ketua KPU Bangka, Dedi Susanto.

Dengan putusan ini, pasangan calon nomor urut 1 dan 5 yang sempat digugat tetap sah sebagai peserta dan perolehan suara mereka tetap diakui. Sementara itu, pasangan Andi Kusuma–Budiyono harus menerima kenyataan bahwa permohonannya tidak dapat diproses lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.

Kasus ini sekaligus menjadi pelajaran penting bahwa dalam sengketa pemilu, ketelitian, kejelasan objek, dan konsistensi petitum menjadi aspek yang tidak bisa ditawar. Tanpa itu semua, permohonan akan berujung pada penolakan sejak awal, sebagaimana yang dialami oleh pasangan calon nomor urut 4 dalam Pilkada Bangka 2025. (Sumber : Fakta Berita, Editor : KBO Babel)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed