KBOBABEL.COM (BANGKA TENGAH) — Aktivitas tambang timah ilegal kembali marak di kawasan Kolong Merbuk, Kenari, dan Pungguk, Kabupaten Bangka Tengah. Berdasarkan pantauan di lapangan, puluhan ponton tambang kembali beroperasi di kawasan tersebut selama lebih dari satu minggu terakhir tanpa adanya tindakan tegas dari pihak berwenang, termasuk dari PT Timah Tbk selaku pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Selasa (21/10/2025)
Kegiatan yang merugikan negara ini disebut telah berlangsung secara terbuka, bahkan diduga mendapat restu dari oknum yang mengatasnamakan PT Timah dan Satgas Halilintar — satuan pengamanan yang seharusnya bertugas menertibkan aktivitas tambang ilegal di wilayah IUP milik perusahaan pelat merah tersebut.
Salah satu penambang yang enggan disebutkan namanya mengaku bahwa para penambang merasa aman beroperasi karena telah berkoordinasi dengan pihak Satgas Halilintar. Ia bahkan menyebut koordinasi tersebut dilakukan atas perintah dari pihak PT Timah sendiri.
“Kami lah berkoordinasi dengan Satgas Halilintar, bang. Mereka katanya diperintahkan langsung oleh PT Timah. Makanya kami berani nambang di situ, dan hasil timah kami dijual ke salah satu CV mitra PT Timah,” ujarnya kepada wartawan, Senin (20/10/2025).
Ia menambahkan, hasil timah yang diperoleh diserahkan kepada pihak yang disebut sebagai “panitia lapangan”. Namun ia sendiri tidak mengetahui secara pasti apakah hasil tambang itu benar-benar masuk ke jalur resmi atau tidak.
“Timah yang kami dapat langsung kami serahkan ke panitia. Tapi jujur bang, benar atau tidaknya saya nggak tahu. Tapi di lapangan seperti itu kejadiannya,” tambahnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, terdapat sejumlah “bendera” atau kelompok penambang yang menguasai titik-titik tertentu di area tambang tersebut. Beberapa nama yang disebut di antaranya adalah Fendy Abox, Iswadi, Edi Gun Nibung, Sareng, Capui, Tokek, Wahyu, dan Roby Simper. Mereka disebut memiliki peran dominan dalam aktivitas tambang ilegal di kawasan Kolong Merbuk, Kenari, dan Pungguk.
Kondisi ini menimbulkan kecurigaan di kalangan masyarakat. Aktivitas penambangan ilegal tersebut seakan tak tersentuh hukum, meski sudah berulang kali dilakukan di area yang sama. Padahal, wilayah tersebut merupakan bagian dari cadangan negara yang dilindungi dan belum memiliki izin operasi penambangan aktif.
Beberapa sumber menilai, lemahnya pengawasan serta adanya dugaan keterlibatan oknum dari institusi resmi menjadi faktor utama mengapa aktivitas tambang ilegal di kawasan tersebut tetap berjalan.
“Kalau benar penambangan itu dilakukan atas sepengetahuan PT Timah dan Satgas Halilintar, tentu ini sangat ironis. Karena mereka justru seharusnya menertibkan, bukan mengizinkan tambang ilegal beroperasi,” ujar seorang pemerhati tambang di Bangka Tengah yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Ia menambahkan, IUP milik PT Timah di kawasan Kolong Merbuk, Kenari, dan Pungguk seharusnya belum bisa ditambang karena belum memiliki izin operasi produksi yang sah dari pemerintah. Dengan demikian, segala bentuk aktivitas penambangan di kawasan itu, termasuk oleh pihak yang mengatasnamakan PT Timah, tergolong ilegal.
“IUP-nya belum berizin operasi, jadi seharusnya belum bisa ditambang. Kalau sekarang sudah ada kegiatan, apalagi dijual ke CV tertentu, itu jelas melanggar hukum,” tegasnya.
Sementara itu, hingga berita ini diterbitkan, belum ada pernyataan resmi dari PT Timah Tbk maupun Satgas Halilintar terkait dugaan keterlibatan mereka dalam aktivitas tambang ilegal di wilayah tersebut. Begitu pula dengan aparat penegak hukum di Bangka Tengah yang hingga kini belum terlihat melakukan langkah konkret untuk menghentikan kegiatan tersebut.
Para pengamat lingkungan dan aktivis pertambangan menilai bahwa kasus seperti ini menunjukkan lemahnya pengawasan serta tumpulnya penegakan hukum terhadap aktivitas tambang ilegal di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Mereka mendesak pemerintah pusat dan daerah segera turun tangan menindak tegas para pelaku maupun pihak-pihak yang terlibat di balik layar.
“Pemerintah tidak boleh diam. Ini bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga soal kedaulatan negara atas sumber daya alamnya. Kalau aparat dan BUMN tidak segera bertindak, maka penjarahan timah akan terus berulang dengan pola yang sama,” kata salah satu aktivis tambang di Pangkalpinang.
Ia juga menegaskan bahwa kerugian negara akibat aktivitas tambang ilegal ini bisa mencapai miliaran rupiah per minggu, mengingat nilai jual timah yang tinggi di pasaran global. Selain itu, dampak lingkungan dari aktivitas tambang liar di kolong dan rawa juga sangat merusak ekosistem setempat, terutama pada kualitas air dan tanah.
“Selain rugi secara finansial, kita juga kehilangan ekosistem air tawar yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat sekitar. Ini bahaya besar kalau terus dibiarkan,” ujarnya.
Kini, sorotan publik tertuju pada Kejaksaan Agung dan aparat kepolisian untuk segera menelusuri dugaan keterlibatan pihak-pihak tertentu di balik tambang ilegal tersebut.
Masyarakat berharap pemerintah tidak lagi menutup mata terhadap praktik penjarahan sumber daya alam yang dilakukan secara terang-terangan.
“Kalau benar ada oknum PT Timah atau Satgas Halilintar yang bermain, harus ditindak tegas. Jangan hanya penambang kecil yang dijadikan kambing hitam,” pungkasnya.



















