KBOBABEL.COM (BANGKA) – Pertimahan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) kembali menjadi sorotan. Maraknya praktik penambangan dan perdagangan ilegal membuat pemerintah pusat hingga daerah memperketat pengawasan. Dua satuan tugas (Satgas) kini digerakkan untuk menjaga tata kelola timah, yakni Satgas Nanggala yang dibentuk PT Timah Tbk serta Satgas Halilintar bentukan pemerintah pusat. Selasa (23/9/2025)
Kepala Stasiun Bakamla RI Bangka Belitung, Letkol Bakamla Yuli Eko Prihartanto menegaskan keberadaan Satgas Nanggala menjadi mitra penting dalam operasi pengawasan. Menurutnya, sinergi lintas lembaga perlu diperkuat agar kebocoran timah tidak semakin merugikan negara.
“Beberapa anggota Satgas, jumlahnya di bawah sepuluh orang, ikut serta dalam kegiatan pengawasan. Kami juga sempat bertemu langsung untuk berbagi informasi terkait titik-titik rawan penjualan dan penyelundupan ilegal,” kata Yuli Eko saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (15/9/2025).
Ia menjelaskan, Satgas Nanggala beranggotakan unsur TNI yang fokus mengawasi wilayah Izin Usaha Penambangan (IUP) milik PT Timah. Sementara Bakamla berkoordinasi dengan Polri, TNI AL, Bea Cukai, KSOP, serta pemerintah daerah dalam operasi maritim.
“Untuk Satgas Halilintar, saya juga belum begitu mengetahui secara detail tugas mereka bagaimana. Yang jelas masyarakat jangan takut, tentu semua akan berpihak kepada masyarakat,” ujarnya.
Kebocoran Timah Mengkhawatirkan
Berdasarkan data intelijen maritim, sedikitnya 100 ton timah diperkirakan bocor setiap pekan dari sejumlah IUP milik PT Timah. Temuan itu diperkuat dengan penindakan terbaru Bakamla RI bersama Satgas Nanggala yang berhasil mengamankan 1.261 kilogram pasir timah ilegal dari Ponton Isap Produksi (PIP) di Tempilang DU-1545, Bangka Barat, Minggu (14/9/2025).
“Yang tertangkap kemarin memang hanya sekitar satu ton lebih, tetapi data kami menunjukkan kebocoran bisa mencapai seratus ton per minggu. Angka ini sangat signifikan,” ungkap Yuli.
Menurutnya, penindakan bukan sekadar menghentikan praktik ilegal, melainkan memastikan hasil timah rakyat kembali masuk ke jalur resmi. Pasir timah yang disita nantinya akan dikembalikan, dengan syarat harus dijual ke PT Timah atau smelter resmi.
“Kalau dijual ke kolektor, mereka hanya memikirkan keuntungan sendiri. Tidak ada jaminan keselamatan penambang, tidak ada kontribusi ke daerah. Tapi kalau dijual ke PT Timah, hasilnya kembali ke masyarakat melalui pajak, royalti, dan pembangunan,” tegasnya.
Modus Kolektor
Yuli mengungkapkan, modus para kolektor ilegal adalah merayu penambang dengan harga lebih tinggi dibandingkan PT Timah. Hal itu membuat banyak penambang tergoda meski berisiko tinggi.
“Profil kolektor ilegal sebagian besar sudah kami ketahui. Ada yang hampir tertangkap, tapi berhasil melarikan diri. Ke depan operasi akan diperluas, tidak berhenti pada satu kasus saja,” katanya.
Bakamla RI berkomitmen memutus rantai suplai penyelundupan ke luar negeri. Dari hasil pengecekan terhadap 50 PIP yang beroperasi, ditemukan 26 kampil pasir timah dalam kondisi kering yang diduga akan diturunkan secara ilegal. Setelah ditimbang, beratnya mencapai 1.261 kilogram dan kini diamankan di gudang pos PT Timah Tempilang.
PT Timah Ambil Sikap
Direktur Utama PT Timah Tbk, Restu Widyantoro, mengakui perusahaan dua tahun berturut-turut gagal mencapai target produksi. Ia menilai kebocoran produksi akibat dominasi kolektor ilegal menjadi penyebab utama kerugian besar.
“Kami lihat yang diuntungkan dari operasional timah itu bukan rakyat, tapi kelompok kolektor. Peran kolektor akan diperkecil,” tegas Restu.
Menurutnya, Satgas internal PT Timah, yakni Satgas Nanggala, sudah dibekali pelatihan oleh Komando Pasukan Khusus (Kopassus) untuk memperkuat pengawasan. Mereka diarahkan menindak kolektor yang tidak mau masuk dalam sistem resmi.
“Kalau yang legal tentu diakui, tapi yang ilegal akan kami tertibkan bahkan diproses hukum. Berani melawan kolektor yang tidak mau diorganisir dengan baik,” ujarnya.
Restu juga menyebut, PT Timah kini memberikan jalur resmi bagi penambang rakyat. Ratusan penambang sudah didaftarkan dan diberi Surat Perintah Kerja agar hasil produksinya langsung disalurkan ke PT Timah.
“Ini sebagai kekayaan negara untuk membayar pajak, royalti, dan jaminan reklamasi. Mitra yang beroperasi legal akan dapat apresiasi dan dukungan maksimal,” tambahnya.
Target Produksi dan Harapan
Saat ini PT Timah menargetkan produksi sebesar 22.000 ton timah batangan. Dengan dukungan Satgas, perusahaan berharap dapat meningkatkan produksi menjadi 30.000 ton pada 2026, bahkan mencapai 80.000 ton di tahun-tahun berikutnya.
“Mumpung ada Satgas yang sedang bekerja, ini dimaksimalkan agar produksi bisa berjalan,” jelas Restu.
Letkol Yuli Eko menekankan bahwa kehadiran berbagai Satgas, baik Nanggala maupun Halilintar, tidak boleh menimbulkan keresahan masyarakat. Sebaliknya, mereka diharapkan menjadi pembina sekaligus pelindung.
“Kita ingin Satgas hadir bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk membina. Kalau ada yang menambang di IUP resmi tapi belum terdata, sebaiknya diarahkan ke PT Timah, bukan langsung ditindak,” ujarnya.
Penambang Diminta Tak Gentar
Di akhir keterangannya, Yuli kembali mengingatkan agar para penambang tidak terjebak iming-iming harga kolektor ilegal. Jalur resmi memang terlihat kurang menguntungkan secara instan, tetapi jauh lebih aman dan berkelanjutan.
“Kalau menjual ke kolektor, keuntungannya sesaat saja. Tidak ada jaminan keselamatan, tidak ada kontribusi ke daerah. Tapi kalau lewat PT Timah, hasilnya kembali ke masyarakat juga,” pungkasnya.
Kehadiran Satgas Nanggala dan Halilintar diharapkan menjadi tonggak baru dalam memperkuat tata kelola pertimahan Babel. Sinergi lembaga, pengawasan ketat, serta keberanian menindak kolektor ilegal diyakini dapat menekan kebocoran hingga memulihkan kembali kepercayaan publik terhadap pengelolaan sumber daya timah. (Sumber : Bangkapos, Editor : KBO Babel)