KBOBABEL.COM (BANGKA) – Daerah Aliran Sungai (DAS) memiliki fungsi vital sebagai wilayah yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan menuju laut atau danau. Lebih dari itu, DAS juga menjadi penyangga kehidupan: penyedia air bersih, penopang pertanian, penggerak industri, sekaligus ruang hidup keanekaragaman hayati. Senin (8/9/2025)
Namun, fungsi penting itu kini tengah digerus aktivitas tambang timah ilegal di kawasan DAS Desa Jada Bahrin, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Tak hanya merusak ekosistem sungai, aktivitas ilegal tersebut juga menghancurkan kawasan mangrove (bakau) yang menjadi benteng alami pesisir.
Mangrove sejatinya berperan menahan abrasi, meredam energi gelombang, hingga mencegah air tanah berubah menjadi payau.
Namun di Jada Bahrin, pohon-pohon bakau kini luluh lantak diterjang aktivitas tambang ilegal yang berlangsung secara terang-terangan.
Informasi yang dihimpun jejaring media menyebutkan, tambang ilegal ini sudah beroperasi selama tiga minggu terakhir dan hingga hari ini belum ada tanda-tanda dihentikan. Lebih jauh, sumber lapangan bahkan menyebut aktivitas itu diduga mendapat bekingan dari seorang oknum TNI berinisial Der. Hasil timah dari lokasi tersebut kabarnya ditampung oleh seorang kolektor berinisial Kam.
Keterlibatan oknum aparat dalam aktivitas yang nyata-nyata melanggar hukum tentu menjadi pukulan telak bagi upaya penegakan aturan dan perlindungan lingkungan. Padahal, regulasi yang mengatur kawasan DAS dan hutan mangrove sangat jelas.
Peraturan yang Dilanggar
Pertama, aktivitas tambang timah di kawasan DAS tanpa izin jelas melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Pasal 158 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP) dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
Kedua, pengerusakan kawasan mangrove di sekitar sepadan DAS melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, di mana Pasal 50 ayat (3) huruf g menegaskan larangan melakukan penambangan dalam kawasan hutan tanpa izin. Pelanggaran ini diancam pidana sesuai Pasal 78 ayat (6), dengan hukuman penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.
Ketiga, secara ekologis dan tata ruang, aktivitas tambang di sempadan sungai melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, yang menyatakan bahwa sempadan sungai merupakan kawasan lindung yang tidak boleh dialihfungsikan, apalagi untuk pertambangan.
Jika benar terdapat keterlibatan oknum TNI, maka hal ini juga mencederai disiplin militer. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, setiap prajurit dilarang terlibat bisnis ilegal yang berpotensi merusak wibawa institusi. Pasal 39 ayat (2) menegaskan bahwa anggota TNI tidak boleh melakukan kegiatan usaha, termasuk terlibat dalam praktik yang melanggar hukum.
Dampak Sosial dan Ekologis
Kerusakan DAS dan mangrove di Jada Bahrin bukan hanya persoalan lingkungan, melainkan juga ancaman bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Jika kawasan penyangga rusak, risiko banjir, intrusi air laut, dan hilangnya sumber air bersih akan semakin besar. Nelayan pun berpotensi kehilangan wilayah tangkap karena ekosistem perairan terganggu.
Aktivitas tambang ilegal memang kerap menjadi dilema di Bangka Belitung. Di satu sisi ada kebutuhan ekonomi, namun di sisi lain kerusakan lingkungan dan pelanggaran hukum terus dibiarkan. Keterlibatan oknum aparat justru memperparah keadaan karena memberi rasa aman bagi pelaku.
Menunggu Tindakan Tegas
Publik kini menanti langkah nyata aparat penegak hukum, terutama Polres Bangka, Dinas Lingkungan Hidup, dan instansi terkait lain untuk menindak tegas aktivitas ini. Jika benar ada keterlibatan oknum TNI, maka POM TNI dan institusi militer harus segera turun tangan melakukan penyelidikan internal.
Kehadiran hukum di Jada Bahrin menjadi ujian: apakah negara berpihak pada kelestarian lingkungan dan masyarakat, atau justru membiarkan praktik tambang ilegal yang merusak ruang hidup bersama.
Tanpa ketegasan, kerusakan akan terus meluas dan masyarakat yang menanggung akibatnya. (Ryan A Prakasa/KBO Babel)