KBOBABEL.COM (Bangka Barat) – Aktivitas tambang timah ilegal kembali menggeliat di perairan Laut Keranggan dan Tembelok, Kabupaten Bangka Barat. Hampir sepekan terakhir, suara mesin ponton isap selam (PIS) terdengar memecah keheningan laut, menandai beroperasinya sekitar 100 unit tambang tanpa izin di kawasan yang sejatinya masuk zona tangkap nelayan tradisional. Kamis (16/10/205)
Informasi di lapangan, Selasa (14/10/2025), menyebut bahwa aktivitas tambang ini diduga dikendalikan oleh dua sosok bernama Gopari dan Zulpan. Keduanya disebut memungut fee kompensasi sebesar 25 persen per ponton per hari dari hasil tambang.
“Yang penting kami bisa begawe, bos. Soal fee kompensasi 25 persen per ponton tidak masalah, yang penting bisa kerja,” ungkap B, salah satu pemilik ponton yang ditemui di lokasi.
B menambahkan bahwa saat ini, pekerja tambang tidak perlu membayar uang bendera atau biaya masuk di awal. Namun, pemotongan akan dilakukan setelah hasil timah diperoleh.
“Gak pakai DP bendera, tapi nanti kalau sudah dapat hasil baru kami bayar ke panitia,” jelasnya.
Sumber lain menyebutkan, tidak hanya di Keranggan, aktivitas tambang di kawasan Tembelok juga berjalan dengan pola serupa. Sekitar 100 unit ponton yang beroperasi di bawah koordinasi kelompok yang disebut “User” juga dikenai pungutan fee kompensasi masyarakat sebesar 25 persen per unit.
Dalih Stabilitas Ekonomi Warga
Narasi lama kembali digunakan: tambang membuat ekonomi warga stabil. Namun, klaim ini patut dipertanyakan. Perekonomian siapa yang dimaksud? Warga pesisir, atau kelompok tertentu yang menikmati hasil tambang?
Beberapa warga mengaku tidak pernah tahu ke mana larinya uang kompensasi tersebut.
“Katanya ada fee untuk masyarakat, tapi sampai sekarang kami gak pernah terima. Tidak ada pembagian, tidak ada laporan, semua diam,” ujar seorang warga yang meminta namanya disamarkan.
Pernyataan ini memperkuat dugaan bahwa pungutan 25 persen hanya menguntungkan segelintir orang yang berperan sebagai pengatur aktivitas tambang. Sementara itu, masyarakat luas yang seharusnya menerima manfaat justru tidak mendapatkan apa pun selain kerusakan lingkungan dan laut yang makin tercemar.
Hukum yang Dilanggar Terang-Terangan
Secara hukum, wilayah laut tempat ponton-ponton itu beroperasi jelas dilarang untuk kegiatan pertambangan. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 3 Tahun 2020 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).
Dalam peraturan itu disebutkan bahwa zona perairan Mentok–Keranggan–Tembelok merupakan Zona Perikanan Tangkap Tradisional, Zona Alur Pelayaran, dan Zona Konservasi Mangrove. Artinya, wilayah tersebut diperuntukkan bagi aktivitas nelayan tradisional, bukan untuk mesin penyedot pasir timah.
Belfa Alkhab, jurnalis media, dalam tulisannya menegaskan bahwa pelanggaran di wilayah laut ini bukan hal baru.
“Pasal-pasal dalam Perda RZWP3K seolah tidak berlaku di Bangka Barat. Laut yang seharusnya menjadi sumber kehidupan nelayan berubah menjadi ladang bisnis ilegal yang dibiarkan,” tulisnya.
Selain Perda, aktivitas ini juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengenai Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Dalam undang-undang itu ditegaskan bahwa kegiatan tambang hanya dapat dilakukan di wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) yang telah mendapat izin resmi dari pemerintah.
Namun, praktik di lapangan menunjukkan sebaliknya. Laut Keranggan dan Tembelok yang seharusnya steril dari aktivitas tambang justru menjadi arena terbuka bagi operasi ilegal.
Kuat di Kertas, Lemah di Laut
Pertanyaan besar pun muncul: di mana penegakan hukum? Mengapa aparat seolah tak berdaya menghadapi tambang-tambang ilegal ini?
Padahal, sebelumnya aparat penegak hukum (APH) sempat melakukan tindakan di wilayah yang sama — mulai dari langkah preventif, edukatif, hingga penangkapan. Namun, setiap kali operasi dilakukan, aktivitas tambang selalu muncul kembali, bahkan dalam skala lebih besar.
Kondisi ini menimbulkan dugaan adanya pembiaran bahkan keterlibatan oknum aparat di lapangan.
“Sekarang lancar-lancar saja, gak ada gangguan. Kayak sudah aman semua,” kata salah satu pekerja tambang dengan nada datar.
Ungkapan itu mencerminkan betapa lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di lapangan. Dalam situasi seperti ini, hukum kehilangan wibawa dan keadilan hanya menjadi slogan kosong.
“Dalam undang-undang, tidak ada pasal yang menyebut: dilarang membiarkan aparat menutup mata,” ujar seorang aktivis lingkungan Bangka Barat. “Tapi realitasnya, banyak mata yang memilih tidak melihat.”
Suara Nelayan yang Terabaikan
Di tengah gegap gempita tambang, suara nelayan tenggelam oleh gemuruh mesin ponton. Salah satunya, M. Hadi (64), nelayan tua asal Tembelok yang kini lebih sering duduk di tepi pantai menatap laut yang kian keruh.
“Hukum itu cuma kuat di kertas, lemah di laut,” katanya lirih sambil memandangi perahu kecilnya yang tak lagi sering digunakan. “Kalau jaring kami sobek, bisa kami jahit. Tapi kalau laut kami rusak, siapa yang bisa memperbaikinya?”
Hadi menceritakan bagaimana hasil tangkapannya menurun drastis sejak tambang-tambang itu masuk. Dulu, dalam semalam ia bisa membawa pulang puluhan kilogram ikan. Sekarang, kadang hanya satu atau dua kilogram.
“Air sudah kotor, dasar laut rusak, ikan pergi. Kami mau makan apa lagi?” ujarnya dengan suara bergetar.
Laut yang Hilang, Nurani yang Padam
Kerusakan lingkungan akibat tambang ilegal tidak hanya berdampak pada nelayan, tapi juga ekosistem laut. Lumpur, limbah, dan material berat dari aktivitas isap timah menyebabkan air laut menjadi keruh dan biota laut kehilangan habitatnya.
Namun, meski kerusakan terlihat jelas, aparat seakan menutup mata. Tidak ada tindakan nyata, tidak ada patroli rutin, tidak ada penegakan hukum yang konsisten.
“Laut Keranggan dan Tembelok kini seperti halaman belakang tempat pasal-pasal hukum ditanam tanpa akar,” kata seorang pemerhati lingkungan dari Pangkalpinang.
Padahal, hukum seharusnya menjadi mercusuar bagi keadilan. Tapi di Mentok, mercusuar itu redup, tertutup kabut tambang.
Sementara para pengusaha tambang menghitung hasil, masyarakat pesisir menanggung akibat. Laut yang dulu memberi kehidupan kini menjadi simbol ketidakadilan yang nyata.
“Kalau hukum diam, siapa yang akan bicara?” tanya Hadi, menutup pembicaraan. “Kami nelayan hanya bisa berdoa, semoga laut kami masih punya harapan.”
(Sumber : matalensapost, Editor : KBO Babel)













