KBOBABEL.COM (BANGKA BELITUNG) Dugaan korupsi tata niaga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis solar kembali mencuat di Bangka Belitung. Kali ini, sebuah perusahaan bernama PT Makmur Jaya Abadi menjadi sorotan tajam. Perusahaan ini teridentifikasi sebagai badan usaha fiktif yang diduga kuat menjadi alat untuk mengeruk solar subsidi dalam jumlah besar dari sejumlah SPBU dan SPBN, lalu menjualnya kembali sebagai solar industri dengan harga jauh lebih tinggi. Minggu (20/7/2025).
Berdasarkan hasil investigasi lapangan dan dokumen yang diterima pewarta Jejaring Media KBO Babel, PT Makmur Jaya Abadi tidak memiliki legalitas perizinan yang sah untuk kegiatan pengangkutan maupun niaga BBM jenis solar industri.
Namun, entitas ini tetap aktif membeli solar subsidi dalam jumlah besar dari SPBU Riau Silip, SPBN Tempilang, dan SPBN Mentok.
Ketiga stasiun pengisian ini diketahui berada dalam penguasaan satu orang pemilik: Subiatini, seorang pengusaha lokal yang disebut-sebut memiliki jaringan bisnis energi di wilayah Bangka Barat.
Solar subsidi yang diambil dari ketiga titik ini kemudian dibawa ke sebuah gudang untuk dipindahkan ke dalam mobil tangki berwarna biru-putih yang telah ditempeli label PT Makmur Jaya Abadi.
“Kalau dari luar tampaknya legal, mobil tangki rapi, ada logo, dan semua tampak normal. Tapi setelah dicek, semua dokumen tidak nyambung. Bahkan perusahaan itu tidak terdaftar dalam sistem perizinan niaga BBM,” ungkap salah satu sumber jejaring media KBO Babel yang enggan disebutkan namanya, Jumat (18/7/2025).
Praktik ini tidak hanya menyalahi aturan administratif, tetapi juga menimbulkan kerugian negara dalam skala besar. Pasalnya, solar subsidi disalurkan pemerintah dengan menggunakan dana APBN. Perbedaan harga antara BBM subsidi dan industri mencapai Rp3.000–4.000 per liter.
Bila satu perusahaan menyedot 10.000 liter per hari saja, maka dalam sebulan potensi kerugian negara bisa mencapai Rp1,2 miliar, belum termasuk dampak hilangnya akses masyarakat terhadap subsidi.
“Mereka kemas solar subsidi jadi seolah-olah solar industri, lalu jual lagi ke tambang-tambang atau sektor bisnis besar. Ini jelas melanggar hukum. Rakyat kecil seperti nelayan dan sopir angkutan yang harusnya dapat subsidi malah susah cari solar,” lanjut narasumber tersebut.
Yang makin mencengangkan, dalam investigasi ditemukan indikasi bahwa SPBU dan SPBN yang terlibat secara sadar melayani pembelian dalam jumlah besar tanpa dokumen resmi.
Hal ini diduga karena adanya hubungan langsung antara pemilik modal dan pengelola SPBU. Pemilik SPBU, dalam hal ini Subiatini, disebut-sebut memiliki peran ganda sebagai operator dan pemodal, yang memuluskan jalur distribusi solar subsidi ke perusahaan fiktif miliknya sendiri.
Praktik ini, menurut pengamat kebijakan energi lokal, bisa dikategorikan sebagai kejahatan terstruktur dan sistematis.
“Kalau SPBU dan perusahaan fiktif dimiliki orang yang sama, artinya ini bukan lagi pelanggaran biasa. Ini kejahatan ekonomi dengan struktur kolusi yang rapi. Negara harus tegas,” kata seorang akademisi hukum dari salah satu universitas di Bangka Belitung.
Lebih lanjut, tindakan seperti ini jelas melanggar Pasal 18 Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.
Pasal tersebut menyatakan larangan tegas bagi badan usaha dan masyarakat untuk melakukan penimbunan serta penyimpanan BBM tertentu—seperti solar subsidi—tanpa izin resmi. Pelanggaran atas ketentuan ini dikenai sanksi pidana dan denda berat.
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi juga mengatur hukuman berat bagi pelanggaran distribusi BBM.
Pasal 53 menyebutkan bahwa pelaku niaga BBM tanpa izin resmi dapat dipidana hingga lima tahun penjara dan dikenakan denda maksimal Rp50 miliar.
Lebih gawat lagi, peran SPBU dalam praktik ini tak bisa dikecualikan dari jeratan hukum. Bila terbukti memberikan kesempatan atau sarana untuk melancarkan kejahatan, pengelola SPBU dapat dikenakan sanksi sebagai pembantu kejahatan berdasarkan Pasal 56 KUHP.
“Kalau unsur kesengajaan terbukti, SPBU bisa dijerat sebagai pembantu tindak pidana. Apalagi kalau SPBU tersebut milik orang yang sama dengan pelaku utama,” ungkap sumber hukum dari lembaga advokasi lingkungan yang tengah mengawasi kasus ini.
Masyarakat di sekitar gudang pool muat BBM Solar beralamat jalan Pahlawan 12 Belinyu mengaku heran dan resah dengan banyaknya kendaraan tangki berlogo asing keluar masuk SPBU pada malam hari.
Seorang warga yang tinggal dekat gudang milik Subiatini menyampaikan:
“Kalau malam itu sering ada mobil tangki datang, isi BBM banyak banget. Tapi kok nggak kayak mobil Pertamina. Kami nggak tahu itu resmi atau tidak, tapi anehnya solar selalu cepat habis di sini. Kami mau beli aja sering kosong,” kata pria berinisial JN.
Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari pihak Pertamina wilayah Sumbagsel maupun pihak kepolisian setempat.
Namun tim investigasi KBO Babel telah melayangkan konfirmasi kepada Subiatini, pihak PT Makmur Jaya Abadi, serta pihak-pihak terkait lainnya. Sayangnya, belum ada satu pun yang memberikan respons.
Publik menanti tindakan tegas dari aparat penegak hukum khususnya kepada pihak Kejaksaan setempat untuk mengusut tuntas jaringan mafia BBM Solar yang berpotensi merugikan negara dan menyusahkan masyarakat kecil.
Bukan hanya karena ini menyangkut subsidi rakyat kecil, tetapi juga karena praktik ilegal ini membuka borok tata kelola distribusi energi nasional yang masih sangat rawan dimanipulasi.
“Ini bukan cuma soal maling solar. Ini adalah soal kebocoran sistem subsidi negara. Pemerintah pusat, BPH Migas, dan penegak hukum mesti turun tangan langsung. Jangan sampai rakyat jadi korban keserakahan segelintir orang,” tutup narasumber. (Redaksi)