KBOBABEL.COM – Filsafat hukum sejak awal sudah ada kemunculannya yang selalu berperan sebagai fondasi dalam memahami hakikat hukum, tujuan keberadaannya, serta orientasi moral dan sosial yang hendak diwujudkan. Jika pada era klasik filsafat hukum berfokus pada pencarian keadilan, kepastian, dan kemanfaatan dalam kerangka hubungan antarmanusia, maka dalam perkembangan kontemporer tantangan baru bermunculan yang menuntut penyesuaian paradigma. Salah satu perubahan besar hadir dalam bentuk otomatisasi dan berkembangnya isu keamanan siber, yang keduanya tidak hanya mengubah wajah sistem hukum secara teknis, tetapi juga memengaruhi nilai-nilai filosofis yang menopang keberadaannya. Perubahan ini mengarah pada transformasi paradigma filsafat hukum, yakni bagaimana manusia memahami hukum sebagai institusi normatif di tengah realitas yang semakin dikendalikan oleh algoritma, jaringan digital, serta ancaman kejahatan berbasis teknologi.
Era otomatisasi menandai lahirnya mekanisme sosial, ekonomi, bahkan hukum yang semakin mengandalkan mesin cerdas dan sistem terotomatisasi. Jika dahulu perdebatan filsafat hukum berkisar pada kehendak manusia, moralitas, dan legitimasi norma, kini harus ditambah dengan pertanyaan fundamental tentang kedudukan sistem otomatis dalam struktur normatif. Dalam keputusan hukum yang dihasilkan oleh algoritma memiliki legitimasi moral, jika yang dimana tanggung jawab hukum itu sendiri dibebankan oleh sebuah sistem otomatis yang menyebabkan kerugian atau pelanggaran hak asasi, demikian menggeser filsafat hukum dari diskusi tradisional tentang rechtsstaat dan rule of law ke rule of algorithm. Filsafat hukum tidak lagi sekadar berbicara mengenai hukum yang dibuat oleh manusia untuk manusia, melainkan juga hukum yang dirumuskan, diterapkan, dan bahkan ditegakkan dengan bantuan sistem non-manusia.
Selain itu juga terdapat, otomatisasi menghadirkan persoalan etis yang sangat mendalam. Mesin memang dapat mengambil keputusan lebih cepat, efisien, dan berbasis data yang luas, tetapi ia tidak memiliki kesadaran moral, intuisi keadilan, maupun empati terhadap korban atau pihak yang dirugikan. Filsafat hukum di era ini dituntut untuk mencari keseimbangan antara rasionalitas teknologi dan moralitas manusia. Prinsip klasik keadilan distributif maupun komutatif harus direvisi agar mampu menjawab situasi di mana algoritma menentukan distribusi sumber daya atau akses keadilan. Misalnya, sistem peradilan berbasis predictive justice yang memprediksi kemungkinan residivisme seorang terdakwa dapat saja mempercepat proses peradilan, namun berpotensi mendiskriminasi kelompok tertentu karena bias data historis. Di sinilah filsafat hukum berperan sebagai penjaga agar otomatisasi tidak mengorbankan nilai dasar kemanusiaan.
Kemudian dalam kehadiran cybersecurity menambah lapisan kompleksitas. Dunia siber yang serba tanpa batas geografis memperlihatkan bahwa hukum tidak lagi bisa ditopang hanya oleh kedaulatan negara, melainkan juga harus menyesuaikan diri dengan realitas transnasional. Filsafat hukum yang dulu menitikberatkan pada kedaulatan dan yurisdiksi kini menghadapi dilema tentang bagaimana norma dapat ditegakkan dalam ruang tanpa batas. Kedaulatan hukum nasional masih relevan ketika serangan siber dapat dilakukan dari ribuan kilometer jauhnya tanpa jejak fisik, yang dimana filsafat hukum untuk meninjau kembali konsep klasik tentang territorial jurisdiction dan sovereignty, serta menggantikannya dengan konsep baru yang lebih adaptif terhadap dunia maya.
Keamanan siber juga memunculkan persoalan hak asasi manusia. Dalam dunia fisik, hak privasi, hak kebebasan berekspresi, dan hak atas keamanan memiliki batas yang relatif jelas. Namun dalam ruang digital, batas ini menjadi kabur. Filsafat hukum dihadapkan pada perdebatan apakah pengumpulan data masif oleh negara atau korporasi demi alasan keamanan dapat dibenarkan. Di satu sisi, hal ini dianggap perlu untuk mencegah serangan siber, penyebaran ujaran kebencian, maupun ancaman terorisme digital. Di sisi lain, praktik tersebut dapat melanggar hak fundamental individu terhadap privasi. Paradigma hukum klasik yang memisahkan kepentingan publik dan kepentingan individu menjadi tidak cukup lagi, karena dalam dunia digital keduanya saling tumpang tindih. Transformasi filsafat hukum dalam menghadapi otomatisasi dan keamanan siber juga menyingkap persoalan baru mengenai tanggung jawab hukum. Dalam tradisi hukum klasik, tanggung jawab melekat pada subjek hukum yang jelas, yaitu individu atau badan hukum. Namun dalam konteks sistem otomatis atau jaringan siber, tanggung jawab menjadi kabur.
Lalu, filsafat hukum juga tidak bisa mengabaikan dimensi etika global. Otomatisasi dan keamanan siber bukanlah fenomena lokal, melainkan lintas negara dan budaya. Oleh karena itu, paradigma filsafat hukum perlu mengadopsi perspektif kosmopolitan yang mengakui interdependensi antarbangsa dalam menghadapi tantangan teknologi. Prinsip keadilan global menjadi semakin penting untuk memastikan bahwa otomatisasi tidak hanya menguntungkan negara-negara maju yang menguasai teknologi, tetapi juga memperhatikan hak dan kepentingan negara berkembang. Begitu pula dalam isu keamanan siber, dibutuhkan kesepakatan global mengenai standar etis, regulasi, dan mekanisme penyelesaian sengketa yang melampaui batas teritorial.
Transformasi paradigma ini membawa implikasi serius bagi teori hukum. Mazhab positivisme hukum yang menekankan validitas norma berdasarkan prosedur formal kini ditantang oleh kebutuhan untuk mempertimbangkan dimensi moral dan teknologi secara bersamaan. Di sisi lain, teori hukum alam yang menekankan nilai keadilan universal juga menghadapi tantangan baru, yakni bagaimana menerapkan prinsip moral dalam konteks dunia siber yang serba relatif dan dinamis. Bahkan teori kritis yang menyoroti relasi kuasa dalam hukum mendapatkan relevansi baru ketika melihat bagaimana algoritma dan data dapat memperkuat dominasi kelompok tertentu atas yang lain. Dengan demikian, filsafat hukum dituntut untuk bersikap lebih interdisipliner, menyerap wawasan dari etika teknologi, teori informasi, dan ilmu komputer untuk memperkaya analisisnya.
Selain itu, otomatisasi dan keamanan siber juga mendorong filsafat hukum untuk memikirkan kembali tujuan akhir hukum. Jika hukum klasik bertujuan menjaga ketertiban, melindungi hak, dan mencapai keadilan, maka dalam era digital tujuan tersebut perlu ditafsirkan ulang. Ketertiban tidak lagi hanya berarti ketenangan sosial di ruang fisik, tetapi juga stabilitas sistem digital global. Perlindungan hak tidak cukup hanya meliputi hak fisik, melainkan juga hak digital seperti hak atas data pribadi dan keamanan identitas virtual. Sementara itu, keadilan harus dipahami tidak hanya dalam distribusi sumber daya material, tetapi juga dalam distribusi akses teknologi, informasi, dan perlindungan dari ancaman siber.
Dengan demikian, transformasi paradigma filsafat hukum dalam era otomatisasi dan keamanan siber mengarah pada pemahaman baru bahwa hukum tidak bisa lagi dipandang sebagai instrumen statis yang hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia. Hukum kini harus mengatur hubungan manusia dengan mesin, manusia dengan data, serta manusia dengan ruang maya yang tidak kasatmata. Perubahan ini tidak berarti menghapuskan fondasi lama filsafat hukum, melainkan memperluas cakrawalanya agar relevan dengan tantangan baru. Filsafat hukum di era ini harus menjadi jembatan antara tradisi dan inovasi, antara nilai kemanusiaan dan rasionalitas teknologi, serta antara kepentingan lokal dan tuntutan global. Akhirnya, perlu disadari bahwa transformasi ini bukan tanpa risiko. Ketika filsafat hukum membuka diri terhadap otomatisasi dan keamanan siber, ada bahaya bahwa hukum justru kehilangan sisi humanisnya, terjebak dalam logika efisiensi dan kontrol yang kaku. Oleh karena itu, tugas utama filsafat hukum adalah memastikan bahwa teknologi tetap berada dalam bingkai nilai-nilai kemanusiaan. Hukum harus tetap menjadi alat untuk menegakkan martabat manusia, bukan sekadar instrumen untuk melayani mesin atau melanggengkan kekuasaan digital. Hanya dengan cara itu, filsafat hukum dapat benar-benar bertransformasi, bukan hanya beradaptasi, tetapi juga memimpin arah perkembangan hukum di era otomatisasi dan keamanan siber.
Kesimpulannya, transformasi paradigma filsafat hukum dalam era otomatisasi dan cybersecurity merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Dalam kehadiran otomatisasi menimbulkan persoalan mengenai tanggung jawab, legitimasi, dan subjek hukum baru, sementara tantangan cybersecurity mengguncang konsep kedaulatan, keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia di ranah digital. Oleh karena itu, filsafat hukum harus bergerak dari sekadar refleksi normatif menuju paradigma yang lebih interdisipliner, responsif, dan humanis, agar hukum tetap relevan dan mampu menjaga martabat manusia di tengah derasnya arus perkembangan teknologi modern. (Publisher : KBO Babel)













