KBOBABEL.COM (PANGKALPINANG) — PT Timah Tbk mengalami kerugian finansial mencapai Rp 2,25 miliar akibat rusaknya sejumlah fasilitas kantor dalam aksi demonstrasi para penambang timah yang berlangsung anarkistis di Kantor Pusat PT Timah Tbk, Jalan Jenderal Sudirman, Kota Pangkalpinang, pada Senin, 6 Oktober 2025 lalu. Rabu (22/10/2025)
Division Head Corporate Secretary PT Timah, Rendi Kurniawan, mengatakan estimasi kerugian tersebut diperoleh dari hasil pendataan internal perusahaan melalui Loss Event Database (LED) atau sistem pendataan kerugian yang diterapkan PT Timah. Menurutnya, hingga kini proses perbaikan sejumlah fasilitas yang rusak masih terus dilakukan.
“Saat ini beberapa fasilitas yang rusak masih dalam proses perbaikan. Berdasarkan pendataan sementara, estimasi nilai kerusakan mencapai Rp 2,25 miliar,” ujar Rendi kepada wartawan, Rabu (22/10/2025).
Rendi menjelaskan, pihaknya masih menunggu hasil final dari Loss Adjuster atau tenaga profesional yang ditunjuk untuk menghitung secara detail nilai kerugian akibat peristiwa tersebut. Ia memastikan, perhitungan akhir akan mencakup seluruh kerusakan baik pada aset perusahaan maupun milik pemerintah yang berada di sekitar lokasi kejadian.
“Kerusakan paling parah ada di gedung utama kantor pusat PT Timah. Gedung lain di area kantor maupun perumahan dinas relatif tidak terdampak. Namun, kami tetap menghitung seluruh aset yang rusak, termasuk fasilitas milik Pemerintah Kota Pangkalpinang yang ikut dirusak,” jelasnya.
Rendi menambahkan, meski peristiwa tersebut menimbulkan kerugian material yang cukup besar, aktivitas operasional perusahaan tidak sampai terganggu secara signifikan. PT Timah, kata dia, berkomitmen untuk terus menjaga stabilitas kegiatan usaha, termasuk dalam hal produksi dan distribusi timah nasional.
“Operasional tetap berjalan, namun kami tetap berharap situasi bisa segera kondusif agar seluruh pihak dapat kembali fokus pada peningkatan produktivitas,” katanya.
Sementara itu, aksi demonstrasi besar-besaran para penambang timah di Kantor Pusat PT Timah pada awal Oktober lalu dipicu oleh keresahan para penambang rakyat terhadap aktivitas penertiban tambang timah ilegal yang dilakukan oleh dua satuan tugas, yakni Satgas Nanggala bentukan PT Timah dan Satgas Halilintar bentukan pemerintah.
Banyak penambang mengaku kesulitan menjual hasil tambangnya karena para kolektor atau penampung pasir timah takut membeli akibat maraknya razia dan penangkapan yang dilakukan kedua satgas tersebut. Kondisi ini menyebabkan rantai distribusi timah rakyat terganggu dan harga pasir timah di tingkat penambang anjlok drastis.
“Sekarang kami susah menjual hasil timah. Kolektor banyak yang takut ditangkap. Kalau pun ada yang mau beli, harganya jauh di bawah pasaran,” ujar salah satu penambang asal Kecamatan Merawang yang ikut dalam aksi, sebelumnya.
Keresahan tersebut kemudian berujung pada aksi unjuk rasa besar di kantor PT Timah yang awalnya berlangsung damai. Namun, situasi berubah menjadi anarkistis setelah sebagian massa memaksa masuk ke area kantor, merusak pagar, kaca gedung utama, hingga fasilitas di dalam kantor seperti komputer dan peralatan elektronik.
Aksi tersebut juga memicu bentrokan antara massa dengan aparat kepolisian yang berjaga di lokasi. Petugas terpaksa menembakkan gas air mata untuk membubarkan kerumunan setelah sebagian massa melempar batu dan benda tumpul ke arah aparat.
Akibat kericuhan itu, sejumlah pihak mengalami luka-luka, baik dari kalangan pendemo, warga sipil, aparat kepolisian, hingga jurnalis yang tengah meliput kejadian. Beberapa pedagang kaki lima di sekitar lokasi pun ikut terdampak, sementara gas air mata yang menyebar ke pemukiman warga menyebabkan sejumlah anak dan pelajar mengalami sesak napas.
Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyatakan akan memfasilitasi dialog antara PT Timah, penambang rakyat, dan para kolektor untuk mencari solusi atas permasalahan tata kelola tambang timah di wilayah tersebut.
“Kami memahami keresahan masyarakat penambang, tapi tindakan anarkistis tidak bisa dibenarkan. Pemerintah daerah akan menjembatani komunikasi antara semua pihak agar tidak ada lagi kesalahpahaman,” ujar salah satu pejabat Pemprov Babel.
Sementara PT Timah berharap seluruh pihak dapat menghormati aturan hukum dan mekanisme penambangan yang legal agar tidak menimbulkan kerugian lebih besar, baik bagi perusahaan, masyarakat, maupun pemerintah daerah.
“Kami tetap membuka ruang dialog. Namun, penegakan aturan tetap harus berjalan agar tata kelola timah di Babel menjadi lebih tertib dan berkelanjutan,” tutup Rendi. (Sumber : Tempo, Editor : KBO Babel)













