KBOBABEL.COM (Bangka) – Aktivitas tambang ilegal di kawasan Muara Jalan Baru, Sungailiat, Kabupaten Bangka, seakan menjadi potret buram lemahnya penegakan hukum di lapangan. Pantauan langsung jurnalis, Kamis (2/10/2025), memperlihatkan puluhan ponton isap beroperasi terang-terangan di bibir muara, wilayah yang sejatinya masuk dalam kawasan konservasi bakau. Jum’at (3/10/2025).
Ironisnya, aparat penegak hukum justru dinilai publik seolah “tutup mata” terhadap aktivitas yang mengancam lingkungan tersebut.
Yono, pria asal Buton, Sulawesi Tenggara, yang didaulat sebagai koordinator para penambang ilegal di lokasi, dengan blak-blakan mengakui bahwa hasil tambang dijual ke Pangkalpinang.
“Saya jual timah ke Pangkalpinang, ke RK. Harga jualnya Rp130 ribu per kilogram. Dia yang datang ke sini ambil timahnya,” ujar Yono kepada awak media.
Yono menegaskan dirinya hanya dipercaya mengatur operasional tambang, bukan sebagai “bos besar”.
Namun, pengakuannya jelas menunjukkan betapa ia sudah lama malang-melintang dalam bisnis timah ilegal.
Menurutnya, satu ponton bisa menghasilkan 20–30 kilogram timah per sekali operasi, mulai pukul 10 pagi hingga 4 sore.
Dengan jumlah sekitar 100 ponton, potensi hasil tambang dalam sehari bisa mencapai 2.000–3.000 kilogram.
Bila dihitung dengan harga kolektor swasta yang kini mencapai Rp200 ribu per kilogram, perputaran uang dari aktivitas ilegal ini mencapai miliaran rupiah setiap bulannya.
Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar: mengapa aparat seolah membiarkan? Padahal, aktivitas tambang di kawasan konservasi bakau jelas-jelas berisiko mengundang bencana ekologis seperti banjir bandang dan abrasi pantai.
Kasatpol PP Kabupaten Bangka, Toni Mirza, saat dikonfirmasi, mengakui akan segera menindaklanjuti laporan tersebut.
“Benar, kawasan muara itu masuk konservasi bakau. Kami berterima kasih atas informasinya dan akan segera selidiki. Kami juga akan berkoordinasi lintas instansi sebelum melakukan tindakan tegas,” kata Toni.
Namun, publik menilai langkah pemerintah daerah saja tidak cukup.
Aparat penegak hukum semestinya bergerak cepat membongkar jaringan, termasuk menangkap aktor intelektual seperti Yono yang terkesan kebal hukum.
Yono bahkan dengan enteng menyebut sebagian besar penambang yang beroperasi di pantai maupun muara adalah keluarga dan warga sekitar tempat tinggalnya. Dengan kalimat itu, ia seakan bersembunyi di balik klaim bahwa tambang tersebut “milik rakyat kecil”.
Media telah berupaya mengonfirmasi keterangan Yono ke sejumlah instansi terkait, namun hingga berita ini diturunkan, belum ada respon maksimal.
Publik pun menanti langkah nyata aparat, bukan sekadar janji penertiban. Sebab, bila dibiarkan, tambang ilegal di kawasan konservasi ini bukan hanya merugikan negara, tetapi juga mengundang malapetaka ekologis yang akan membebani generasi mendatang. (KBO Babel)