KBOBABAEL.COM (Jakarta) – Keputusan sejumlah partai politik menonaktifkan lima anggota DPR RI buntut pernyataan kontroversial dan aksi tidak pantas dalam Sidang Tahunan MPR terus menuai sorotan publik. Terbaru, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) melalui penelitinya, Lucius Karus, menilai bahwa langkah penonaktifan tersebut hanyalah upaya sementara untuk meredam kemarahan publik, bukan bentuk pertanggungjawaban politik yang serius. Selasa (2/9/2025)
Menurut Lucius, tindakan partai yang hanya menonaktifkan kadernya dari aktivitas DPR bukanlah bentuk sanksi yang sepadan atas perilaku yang memicu kontroversi di masyarakat. Ia menilai, istilah “nonaktif” dipilih partai sebagai cara untuk meredakan tekanan publik tanpa benar-benar memberikan konsekuensi serius terhadap anggota yang bersangkutan.
“Fraksi atau partai nampak tak ingin kehilangan 5 anggota mereka hanya karena dituntut publik. Mereka hanya ‘disembunyikan’ sementara waktu sambil menunggu perkembangan selanjutnya. Kalau situasi sudah tenang beberapa waktu kemudian, kelima anggota ini akan diaktifkan lagi,” ujar Lucius kepada wartawan, Selasa (2/9/2025).
Lucius menyatakan bahwa istilah “nonaktif” sebenarnya tidak dikenal dalam regulasi Undang-Undang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD). Karena itu, menurutnya, langkah tersebut lebih tepat disebut sebagai “libur sementara” ketimbang pemberian sanksi yang jelas.
“Penonaktifan 5 anggota itu bermakna bahwa kelimanya hanya tak perlu beraktivitas dalam kegiatan-kegiatan DPR untuk sementara waktu tanpa mencabut hak-hak anggota sebagaimana yang lain,” jelas Lucius.
Ia menambahkan bahwa kelima anggota yang dinonaktifkan itu tetap akan menerima hak dan fasilitas sebagai anggota DPR, seperti gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya, meskipun mereka tidak bekerja.
“Anggota-anggota nonaktif ini akan tetap mendapatkan hak-hak sebagai anggota walau tak perlu bekerja. Jadi pada dasarnya ini bukan hukuman, melainkan strategi komunikasi politik untuk menyenangkan publik sesaat,” lanjutnya.
Lucius menyebut bahwa sikap partai politik dalam kasus ini menunjukkan bahwa mereka tidak benar-benar menganggap tindakan kelima anggotanya sebagai kesalahan serius. Justru, keputusan penonaktifan dianggap sebagai bentuk perlindungan terhadap kader partai dari tekanan publik.
“Fraksi atau partai tak mengakui bahwa apa yang dituntut publik terhadap anggota-anggota itu sesuatu yang salah menurut partai atau fraksi. Putusan menonaktifkan adalah pernyataan pembelaan parpol atas kader mereka dengan sedikit upaya untuk menyenangkan publik sesaat saja,” katanya.
Ia juga menegaskan bahwa jika partai benar-benar mengakui kesalahan kadernya, langkah yang paling tepat dan bermakna secara politik adalah pemberhentian tetap dan proses pergantian antarwaktu (PAW).
“Dengan pemberhentian, maka akan ada proses PAW, sekaligus memastikan kelima orang itu tidak punya tanggung jawab secara moral dan politis untuk menjadi wakil rakyat. Itu baru langkah tegas,” tegas Lucius.
Sebagai informasi, kelima anggota DPR yang dinonaktifkan oleh partainya adalah:
-
Ahmad Sahroni (NasDem) – Wakil Ketua Komisi III DPR RI
-
Nafa Urbach (NasDem) – Anggota Komisi IX DPR RI
-
Eko Hendro Purnomo / Eko Patrio (PAN) – Wakil Ketua Komisi VI DPR RI dan Sekjen PAN
-
Surya Utama / Uya Kuya (PAN) – Anggota Komisi IX DPR RI
-
Adies Kadir (Golkar) – Wakil Ketua DPR RI
NasDem menjadi partai pertama yang mengambil langkah penonaktifan terhadap kadernya. Disusul kemudian oleh PAN dan Golkar yang juga menonaktifkan anggotanya akibat pernyataan dan aksi yang dianggap tidak mencerminkan etika sebagai wakil rakyat.
Penonaktifan ini dilakukan setelah muncul kritik luas dari masyarakat terhadap sejumlah anggota DPR yang dinilai tidak sensitif terhadap kondisi rakyat. Beberapa di antaranya menyampaikan pernyataan tentang tunjangan DPR dan menunjukkan sikap tidak pantas saat sidang kenegaraan yang disiarkan ke publik.
Namun hingga kini, belum ada satu pun partai yang menyatakan akan melakukan PAW terhadap kelima anggota tersebut. Hal ini memperkuat pandangan Formappi bahwa penonaktifan hanya merupakan manuver politik untuk menyelamatkan citra partai di tengah gelombang kekecewaan publik terhadap perilaku elit parlemen.
Lucius pun mengingatkan bahwa jika partai politik ingin menjaga kepercayaan rakyat, maka sanksi terhadap kader harus tegas, konsisten, dan memiliki dasar hukum yang jelas.
“Kalau cuma disimpan sementara lalu dikembalikan setelah suasana reda, itu artinya partai tak belajar dari kemarahan publik,” tutupnya. (Sumber : detiknews, Editor : KBO Babel)