MAKI Kritik Mutasi Hakim Eko Aryanto Usai Vonis Ringan Harvey Moeis

Mutasi Hakim Eko Aryanto ke Papua Barat: Promosi atau Sanksi?

banner 468x60
Advertisements

KBOBABEL.COM (Jakarta) – Hakim Eko Aryanto kembali menjadi sorotan publik setelah dimutasi untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari satu bulan. Langkah Mahkamah Agung (MA) memindahkan Eko dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ke Pengadilan Negeri Sidoarjo, dan kini ke Pengadilan Tinggi Papua Barat, menuai kritik keras, khususnya dari aktivis antikorupsi. Selasa (13/5/2025)

Keputusan mengenai mutasi ini tertuang dalam hasil rapat pimpinan MA pada 9 Mei 2025, seperti dikonfirmasi oleh Juru Bicara MA, Yanto. Dalam rapat tersebut, diputuskan rotasi 41 jabatan di lingkungan pengadilan tinggi, termasuk penempatan Eko sebagai hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Papua Barat.

banner 336x280

“Iya benar (mutasi 41 hakim),” kata Yanto kepada wartawan, Minggu (11/5).

Sebelumnya, pada 22 April 2025, Eko baru saja dimutasi dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ke Pengadilan Negeri Sidoarjo. Belum genap sebulan, Eko kembali dimutasi, kali ini ke wilayah lebih jauh, yaitu Papua Barat.

Nama Eko Aryanto menjadi perhatian publik sejak akhir Desember 2024 karena putusannya dalam kasus korupsi besar yang melibatkan Harvey Moeis, suami aktris terkenal Sandra Dewi. Harvey dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun dan tindak pidana pencucian uang.

Vonis Ringan untuk Harvey Moeis

Dalam persidangan tingkat pertama di Pengadilan Tipikor Jakarta, Eko menjatuhkan vonis penjara 6 tahun 6 bulan kepada Harvey Moeis. Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti senilai Rp 210 miliar.

“Mengadili, menyatakan Terdakwa Harvey Moeis telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan melakukan tindak pidana pencucian uang,” ujar hakim Eko saat membacakan amar putusan.

“Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 6 tahun dan 6 bulan,” tambahnya.

Vonis ini jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa, yang meminta hukuman 12 tahun penjara. Dalam pertimbangannya, hakim menyebut beberapa alasan yang meringankan hukuman Harvey.

Pertimbangan Hakim yang Kontroversial

Hakim Eko menyebut Harvey bersikap sopan selama persidangan dan masih memiliki tanggungan keluarga sebagai kepala rumah tangga. Selain itu, hakim menerima pengakuan Harvey yang menyatakan dirinya hanya membantu temannya, Suparta, Direktur Utama PT RBT, yang juga divonis bersalah dalam kasus yang sama.

“Harvey Moeis hanya mewakili PT RBT saat melakukan pertemuan dengan pihak PT Timah. Ia tidak termasuk dalam struktur pengurus PT RBT, baik sebagai komisaris, direksi, maupun pemegang saham,” ujar hakim Eko.

Menurut hakim, Harvey bukan pembuat keputusan dalam kerja sama antara PT Timah Tbk dan PT RBT serta tidak mengetahui pengelolaan keuangannya.

Putusan ini tidak diterima jaksa, yang langsung mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta.

Vonis Diperberat di Tingkat Banding

Pada Februari 2025, Pengadilan Tinggi Jakarta memperberat hukuman Harvey Moeis menjadi 20 tahun penjara. Ketua majelis hakim Teguh Harianto menyatakan vonis ini pantas mengingat besarnya kerugian negara yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi tersebut.

“Menjatuhkan terhadap terdakwa Harvey Moeis dengan pidana penjara selama 20 tahun,” ujar hakim Teguh dalam sidang putusan, Kamis (13/2).

Mutasi Eko Dipandang Sebagai Promosi Terselubung

Meski vonis Harvey diperberat di tingkat banding, perhatian publik kembali tertuju pada Eko Aryanto ketika ia dimutasi dari Sidoarjo ke Papua Barat dalam waktu singkat. Aktivis antikorupsi dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengkritik langkah ini, yang dinilai sebagai promosi terselubung bagi Eko meskipun kinerjanya dianggap tidak memuaskan.

Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, menyebut bahwa hakim yang memberikan vonis ringan dalam kasus korupsi besar seharusnya tidak dipromosikan.

“Saya memahami kecewa karena Hakim Eko ini menurut saya diduga melakukan tidak profesional karena memberikan hukuman ringan kepada Harvey Moeis dengan kalimat-kalimat yang meringankan. Menurut saya itu terlalu didramatisir gitu,” ujar Boyamin kepada wartawan, Senin (12/5).

Boyamin menegaskan bahwa dalam kasus korupsi dengan kerugian negara lebih dari Rp 100 miliar, terdakwa seharusnya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

“Ternyata Hakim Eko ini bukan mutasi atau seakan-akan dihukum gitu. Karena sebentar (bertugas) ke Sidoarjo, sudah dipromosikan menjadi hakim tinggi di Papua Barat. Apapun itu promosi gitu. Menurut saya belum waktunya karena belum menjalani ‘sanksi’,” jelasnya.

Kritik terhadap Sistem Mutasi di Mahkamah Agung

Menurut Boyamin, mutasi Eko Aryanto mencerminkan masalah yang lebih besar dalam sistem promosi dan mutasi hakim di Mahkamah Agung. Ia menyebut bahwa ada banyak hakim dengan kinerja yang dinilai kurang baik, namun tetap mendapatkan promosi ke jabatan lebih tinggi.

“Jadi ini banyak hal yang menurut saya justru malah amburadul sistem mutasi dan promosinya yang dilakukan Mahkamah Agung terhadap orang-orang yang sekarang ini dilakukan mutasi maupun promosi gitu,” tegasnya.

Ia menyebutkan bahwa Hakim Eko, yang dinilainya tidak layak dipromosikan, justru diangkat menjadi hakim tinggi.

“Seperti Pak Eko ini kan menurut saya tidak layak itu. Ini malah menjadi hakim tinggi gitu,” pungkasnya.

(Sumber: Detikcom, Editor: KBO Babel)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *