Bangka Belitung – Ekspor mineral ikutan seperti amang timah, besi, wolfram, dan logam tanah jarang kini menjadi sorotan tajam dalam diskursus pengelolaan sumber daya mineral Indonesia. Di balik kontribusinya terhadap devisa negara, ekspor mineral ikutan menyimpan potensi pelanggaran hukum dan celah manipulasi yang mengancam kedaulatan pengelolaan kekayaan alam nasional. Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk menelaah ulang peraturan perundang-undangan terkait dan menegaskan pentingnya penegakan regulasi yang tegas, tidak hanya untuk menjamin kepatuhan hukum, tetapi juga untuk mencegah penyelundupan berkedok legalitas.
Celah Regulasi dan Potensi Manipulasi
Mineral ikutan merupakan mineral yang secara geologis ikut terangkat dalam proses penambangan mineral utama, seperti amang pada bijih timah atau laterit nikel dan rare earth pada penambangan nikel. Meski bukan target utama, mineral ini tetap bernilai ekonomis tinggi dan menjadi objek perdagangan internasional. Dalam praktiknya, ekspor mineral ikutan seringkali dimanfaatkan oleh oknum untuk menyiasati larangan ekspor mineral mentah. Misalnya, ekspor nikel pig iron (NPI) yang dikemas seolah sebagai produk olahan, padahal mengandung kandungan mineral ikutan bernilai tinggi seperti logam tanah jarang, menjadi modus operandi yang sempat disorot oleh publik dan media seperti Dunia Energi.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius: sejauh mana pengawasan negara terhadap validitas izin ekspor mineral ikutan dan bagaimana regulasi mampu mencegah penyalahgunaan izin tersebut?
Dasar Hukum dan Persyaratan Teknis-Ekonomis
Izin ekspor mineral ikutan, pada dasarnya, merupakan bentuk pengejawantahan dari ketentuan Pasal 103A Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang mewajibkan pemegang IUP/IUPK untuk melakukan pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri sebelum ekspor. Namun, Pasal 103A ayat (3) membuka ruang pengecualian ekspor bagi produk olahan tertentu berdasarkan evaluasi pemerintah.
Secara administratif dan teknis, Peraturan Menteri ESDM No. 11 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, mengatur bahwa perusahaan yang ingin mengekspor mineral ikutan harus:
- Memiliki IUP atau IUPK yang sah
- Melampirkan hasil analisis laboratorium terverifikasi atas kandungan mineral ikutan
- Mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal Minerba dengan melengkapi dokumen teknis dan administratif
- Memenuhi ketentuan bea keluar dan kewajiban pembayaran lainnya sesuai dengan ketentuan Kementerian Keuangan
Tak kalah penting, regulasi ekspor juga merujuk pada Peraturan Menteri Perdagangan No. 21 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor, yang menyebutkan bahwa ekspor produk pertambangan tertentu hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan ekspor dari Kementerian Perdagangan berdasarkan rekomendasi teknis dari Kementerian ESDM.
Kedaulatan SDA dan Tantangan Pengawasan
Dalam praktiknya, masih ditemukan sejumlah perusahaan yang menggunakan dalih “mineral ikutan” untuk mengekspor mineral utama secara terselubung. Ini merupakan ancaman nyata terhadap amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Penyalahgunaan izin ekspor mineral ikutan merupakan bentuk pelanggaran terhadap semangat konstitusi tersebut.
Di sisi lain, lemahnya pengawasan di lapangan memperbesar peluang manipulasi. Verifikasi teknis yang tidak transparan, kolusi dalam penerbitan dokumen, dan minimnya integrasi data antara instansi terkait menyebabkan regulasi kehilangan daya gigit. Padahal, setiap ekspor mineral ikutan yang tidak sah bukan sekadar kerugian finansial, tetapi juga merusak integritas tata kelola pertambangan nasional.
Rekomendasi: Reformasi Sistem dan Transparansi Digital
Pemerintah perlu segera menguatkan sistem pengawasan ekspor mineral ikutan melalui beberapa langkah strategis:
- Integrasi Data Digital Antarsektor: Seluruh proses perizinan, analisis laboratorium, rekomendasi teknis, hingga penerbitan persetujuan ekspor harus diintegrasikan secara digital dan transparan melalui sistem satu pintu lintas kementerian.
- Audit Berkala dan Keterlibatan Publik: Audit berkala terhadap eksportir mineral ikutan harus dilakukan secara independen, dan hasilnya wajib dipublikasikan sebagai bentuk pertanggungjawaban publik.
- Revisi Ketentuan Pemurnian Lokal: Jika perlu, pemerintah dapat memperketat batasan ekspor mineral ikutan, kecuali telah melalui proses pemurnian dalam negeri secara menyeluruh.
- Pemberian Sanksi Tegas: Perusahaan yang terbukti menyelundupkan mineral utama dengan dalih mineral ikutan harus dicabut izinnya dan di-blacklist dari seluruh kegiatan ekspor tambang.
Legal, Bukan Berarti Legitimate
Dalam konteks ekspor mineral ikutan, legalitas administratif bukan satu-satunya ukuran legitimasi. Sebuah izin yang diperoleh secara sah tetap bisa menjadi alat manipulatif jika digunakan untuk melanggar substansi hukum dan merugikan negara. Karena itu, pemerintah perlu menjamin bahwa setiap izin ekspor tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga taat asas, akuntabel, dan mencerminkan semangat kedaulatan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (*)
———————————————————————————————————————————–
Penulis : Adinda Putri Nabiilah, S.H.,C.IJ., C.PW. Alumni Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (FH UNSRI) Tahun 2023, saat ini sebagai editor di jejaring Media KBO Babel.
Saran & Masukan terkait dengan tulisan opini silahkan disampaikan ke nomor redaksi 0812-7814-265 atau 0821-1227-4004