Perang Dunia Ketiga di Depan Mata: Ekonomi Indonesia di Ambang Krisis?

Dampak Global Konflik Israel-Iran: Lonjakan Harga Minyak dan Ancaman Bagi APBN Indonesia

banner 468x60
Advertisements

KBOBABEL.COM (Jakarta) – Kekhawatiran akan pecahnya Perang Dunia Ketiga semakin nyata setelah Amerika Serikat (AS) terlibat langsung dalam konflik antara Israel dan Iran. Dampaknya tak hanya mengancam stabilitas geopolitik, tetapi juga memengaruhi perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Senin (23/6/2025)

Dalam jangka pendek, dampak konflik ini akan dirasakan di pasar keuangan, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia. Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengungkapkan bahwa IHSG berpotensi mengalami volatilitas tinggi dan tekanan negatif.

banner 336x280

“IHSG berpotensi mengalami volatilitas dan tekanan negatif,” kata Josua Pardede dilansir dari CNBC Indonesia, Senin (22/6/2025).

Ia menjelaskan, serangan Israel terhadap Iran pada 13 Juni lalu telah menyebabkan penurunan IHSG sebesar 0,53% ke level 7.166. Dalam sepekan, IHSG terkoreksi lebih dalam hingga 3,6% atau setara 259 poin, turun ke level 6.907. Kini, eskalasi konflik meningkat setelah AS menyerang fasilitas nuklir Iran, menambah ketidakpastian global.

“Hal ini mendorong investor untuk mencari aset yang lebih aman, seperti emas atau mata uang safe haven, sehingga menekan minat investor terhadap pasar saham negara berkembang, termasuk Indonesia,” ujarnya.

Tak hanya IHSG, nilai tukar rupiah juga diprediksi akan berada di bawah tekanan. Menurut Josua, kurs rupiah diperkirakan bergerak pada level Rp16.350-Rp16.500 per dolar AS.

Selain itu, perang ini juga berdampak pada lonjakan harga minyak dunia. Sejak ketegangan meningkat, harga minyak telah naik 7% dan diproyeksikan menembus angka USD 100 per barel jika konflik semakin meluas. Kondisi ini berisiko menekan neraca perdagangan Indonesia dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Kenaikan harga minyak ini menambah tekanan defisit neraca perdagangan Indonesia karena meningkatnya biaya impor energi. Kombinasi harga minyak yang tinggi dan pelemahan rupiah menambah beban fiskal berupa peningkatan subsidi energi yang signifikan,” jelas Josua.

Berdasarkan sensitivitas fiskal, setiap kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar USD 1 di atas asumsi APBN (USD 82 per barel) berpotensi menambah beban neto sekitar Rp7 triliun. Ini membuat defisit anggaran mendekati batas 3% dari PDB.

“Kondisi ini memperberat tekanan terhadap rupiah melalui peningkatan risiko fiskal dan prospek pelebaran defisit transaksi berjalan (CAD),” tambah Josua.

Menghadapi situasi ini, Josua menyarankan pemerintah dan Bank Indonesia untuk segera menyiapkan langkah mitigasi. Beberapa kebijakan yang dapat dilakukan antara lain adalah memperkuat cadangan devisa melalui optimalisasi kebijakan devisa hasil ekspor (DHE), melakukan intervensi pasar secara hati-hati, serta menjaga stabilitas fiskal melalui kebijakan pengelolaan anggaran yang lebih ketat.

“Pemerintah dan otoritas moneter Indonesia perlu menyiapkan langkah antisipatif, seperti penguatan cadangan devisa melalui kebijakan DHE yang lebih efektif, intervensi pasar oleh Bank Indonesia secara hati-hati, serta mitigasi fiskal untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik di tengah gejolak global ini,” pungkas Josua.

Dengan ketidakpastian global yang semakin tinggi, pemerintah dan sektor ekonomi Indonesia dituntut untuk tetap waspada dan proaktif menghadapi dampak konflik geopolitik ini. (Sumber: CNBC Indonesia, Editor: KBO Babel)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *