KBOBABEL.COM (MENTOK) — Ketenangan pagi di pesisir Mentok, Kabupaten Bangka Barat, pecah oleh suara mesin ponton yang menggigil di perut laut. Bukan lagi suara ombak yang mendominasi, melainkan deru tambang timah ilegal yang kini menguasai wilayah laut Kranggan, Tembelok, hingga Teluk Inggris. Kamis (16/10/2025)
Di mata masyarakat pesisir, pemandangan itu menjadi ironi. Laut yang dulu menjadi sumber kehidupan kini berubah menjadi ladang tambang. Ponton-ponton tanpa izin beroperasi seolah tak tersentuh hukum, sementara aparat penegak hukum (APH) seakan memilih diam.
“Kalau jaring kami robek, bisa dijahit. Tapi kalau laut kami rusak, siapa yang bisa memperbaikinya?” ujar M. Hadi, nelayan tua di Kranggan, dengan suara lirih.
Ia mengingatkan bahwa wilayah laut tempat tambang beroperasi secara hukum adalah zona perikanan tangkap tradisional. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 3 Tahun 2020 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), wilayah tersebut diperuntukkan bagi nelayan, bukan alat isap tambang.
Namun, fakta di lapangan berkata lain. Hukum seolah hanya tegas di atas kertas, tapi lemah di tengah ombak.
Hukum yang Tak Menyentuh Laut
Peraturan daerah yang semestinya menjadi pagar laut kini seperti kehilangan taring. “Cuma kuat di kertas, lemah di laut,” kata Hadi lagi. Baginya, suara mesin ponton adalah simbol pengkhianatan terhadap undang-undang dan peraturan daerah.
Kondisi ini menunjukkan lemahnya pengawasan aparat terhadap aktivitas tambang laut ilegal. Berdasarkan laporan media, tambang ilegal di laut Kranggan kembali beroperasi dan “diduga ada oknum bermain.”
Kata “diduga” menjadi tameng moral yang kerap digunakan dalam banyak kasus. Oknum tak punya nama, hukum kehilangan arah, dan rakyat tidak punya tempat bertanya.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), negara seharusnya menjamin bahwa pertambangan harus memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Namun di Mentok, yang terjadi justru sebaliknya — laut rusak, nelayan tersingkir, dan hukum seakan tertidur.
Ponton Beroperasi di Zona Terlarang
Data dari media menyebutkan bahwa aktivitas ponton di perairan Tembelok dan Teluk Inggris berlangsung hingga malam hari tanpa pengawasan. Lampu-lampu tambang terlihat seperti bintang di laut, tapi bagi nelayan, itu tanda bahaya.
“Laut bukan lagi rumah kami,” ujar seorang ibu di pesisir Kranggan. “Sekarang laut ini seperti halaman orang lain yang berpagar izin.”
Padahal, peta RZWP3K Babel menegaskan bahwa wilayah Mentok, Kranggan, hingga Teluk Inggris termasuk zona konservasi mangrove dan zona pelayaran, bukan wilayah pertambangan. Artinya, keberadaan ponton di wilayah tersebut jelas melanggar aturan.
Namun, meski pelanggaran tampak nyata, tak ada tindakan berarti. Sejumlah pihak menilai, pembiaran ini menunjukkan lemahnya komitmen APH di lapangan.
Kalau aparat benar-benar bekerja, ponton itu tak akan berani naik ke laut,” ujar seorang warga Tembelok yang enggan disebut namanya.
Dampak Sosial dan Ekologis
Selain merusak lingkungan, aktivitas tambang laut ilegal juga menimbulkan dampak sosial yang serius. Nelayan harus menepi lebih jauh untuk melaut karena area tangkap mereka tertutup oleh selang dan pipa tambang. Banyak jaring nelayan tersangkut bahkan rusak akibat operasi ponton.
Anak-anak nelayan kini tumbuh dalam ironi.
“Dulu kami tidur dengan suara ombak, sekarang dengan suara mesin tambang,” kata seorang remaja di Teluk Inggris.
Beberapa warga juga mengeluhkan bahwa air sumur mulai asin dan tanah di sekitar rumah mereka mengeras akibat limbah tambang yang terbawa arus.
“Kami tidak menolak pembangunan,” kata warga lain, “tapi jangan jadikan laut kami korban keserakahan.”
UU dan Perda yang Tak Bertemu di Laut
Kebingungan hukum di lapangan menjadi salah satu akar masalah utama. Di satu sisi, UU Minerba 2/2025 memberikan dasar hukum bagi pengelolaan pertambangan yang diatur negara. Namun di sisi lain, Perda RZWP3K Babel 3/2020 menegaskan batasan ketat terhadap aktivitas tambang di laut.
Dua aturan hukum itu seolah berdiri di menara yang berbeda.
“Di Jakarta, hukum bicara megah. Di Mentok, hukum tak bisa tidur,” tulis laporan media.
Ketidaksinkronan ini menciptakan ruang abu-abu yang dimanfaatkan oknum untuk melakukan tambang ilegal.
“Negara bicara izin, daerah bicara zonasi. Tapi di laut, yang bicara adalah mesin ponton,” ujar aktivis lingkungan setempat.
APH Dinilai Tutup Mata
Masyarakat pesisir menduga ada unsur pembiaran dari aparat penegak hukum terhadap aktivitas tambang laut ilegal ini.
“Kalau aparat serius, kenapa tambang itu masih jalan tiap malam?” kata warga Kranggan dengan nada kecewa.
Bahkan, laporan media menyoroti bahwa satu hamparan laut yang sama bisa menjadi wilayah tambang aktif tanpa izin. Di sisi lain, aparat di lapangan memilih bungkam.
Kondisi ini menunjukkan lemahnya integritas dan koordinasi antarinstansi.
“Ada hukum, tapi tidak ada keberanian,” komentar pengamat hukum lingkungan, menegaskan bahwa pelanggaran ini bukan sekadar masalah administratif, tapi juga moral.
Krisis Nurani
Tambang-tambang ilegal di laut Mentok adalah cermin bahwa negara sedang menambang nuraninya sendiri.
“Timah itu logam, tapi kerakusan membuatnya jadi kutukan,” ujar M. Hadi lagi.
Hukum yang seharusnya menjadi mercusuar kini meredup. Undang-undang dibuat untuk melindungi rakyat, tapi di Mentok, rakyat justru menjadi korban.
Andai dasar laut bisa bicara, mungkin ia akan berkata, “Aku tidak takut pada hukum, aku hanya takut pada diamnya manusia.”
Sebab di negeri ini, hukum sering kali terlalu sibuk menulis pasal, tapi lupa mendengar jeritan nelayan.
Harapan Terakhir dari Laut
Meski dikepung tambang dan pembiaran, masyarakat pesisir masih menyimpan harapan bahwa suatu hari nanti hukum akan benar-benar berpihak. Mereka berharap pemerintah pusat dan daerah berani menegakkan aturan sesuai amanat UU Minerba 2/2025, Perda RZWP3K 3/2020, serta UU Nomor 31 Tahun 2004 jo UU 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
“Laut ini bukan milik tambang,” kata warga Teluk Inggris. “Laut ini milik kami yang hidup darinya.”
Selama ponton masih beroperasi di zona larangan, keadilan laut Bangka Barat akan tetap karam di dasar tambang.
(Sumber : Trasberita.com, Editor : KBO Babel)



















