Revisi UU Polri Dinilai Legalkan Penyimpangan, 25 Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil
KBOBABEL.COM (Jakarta) – Rencana revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tengah menjadi sorotan tajam publik. Sejumlah akademisi dan mantan pejabat negara memperingatkan bahwa langkah tersebut bukan hanya tidak mendesak, tetapi juga berpotensi merusak cita-cita reformasi 1998. Minggu (27/4/2025).
Salah satu suara keras datang dari Prof. Dr. Yuddy Chrisnandi, Guru Besar Universitas Nasional sekaligus mantan Menteri PAN-RB dan Duta Besar RI.
Dalam wawancara eksklusif dengan Forum Keadilan TV, Yuddy menyebut revisi ini sebagai bentuk “niat jahat” untuk melegalkan penyimpangan yang terjadi dalam tubuh Polri.
“Saya yakin 100 persen, ini bukan kehendak Presiden Prabowo Subianto. Bisa jadi beliau hanya disodori sistem yang sudah menyimpang tanpa sepenuhnya sadar,” tegas Yuddy.
Pernyataan ini menguat seiring dengan terbitnya telegram Kapolri pada 12 Maret 2025 yang mengangkat 25 perwira polisi aktif ke jabatan strategis di berbagai kementerian dan lembaga negara.
Langkah tersebut secara nyata melanggar Pasal 28 UU Polri, yang dengan jelas mengatur bahwa anggota aktif kepolisian hanya dapat menduduki jabatan di luar institusi setelah pensiun atau mengundurkan diri.
“Ini bukan lagi indikasi, ini sudah fakta pelanggaran hukum,” lanjut Yuddy.
Ia memperingatkan bahwa penyimpangan ini berpotensi menjadikan Polri sebagai “superbody” yang tidak hanya mengurusi keamanan, melainkan mulai mengintervensi berbagai sektor sipil. Sebuah kemunduran besar dari semangat reformasi yang mengupayakan supremasi sipil dan profesionalisme lembaga penegak hukum.
Menurut Yuddy, solusi bukanlah merevisi undang-undang untuk mengakomodasi pelanggaran, melainkan melakukan evaluasi total terhadap pelaksanaan UU yang ada.
Ia menyesalkan bahwa dalam 27 tahun sejak reformasi, belum pernah ada evaluasi komprehensif terhadap kelembagaan Polri.
“Yang diperlukan adalah audit menyeluruh terhadap institusi ini, bukan memperlemah prinsip negara hukum dengan membuat aturan baru untuk mengesahkan penyimpangan,” serunya.
Yuddy pun menyinggung perbandingan dengan reformasi kepolisian di Georgia pada awal 2000-an, di mana Presiden Mikheil Saakashvili berani membubarkan seluruh kepolisian lalu lintas dan membangun institusi baru karena dinilai korup dan tidak profesional.
Meski Yuddy menilai kondisi Polri belum separah itu, ia mengingatkan bahwa tanda-tanda degradasi moral sudah sangat kentara, utamanya dari deretan kasus yang menyeret petinggi Polri.
Tak hanya itu, data World Internal Security Police Index (WISPI) juga memperlihatkan potret buram profesionalisme Polri. Indonesia hanya berada di peringkat ke-63 dari 120 negara, dengan skor 0,51, jauh tertinggal dari Singapura yang kokoh di posisi ke-4 dengan skor 0,84.
“Kalau kita membiarkan polisi melangkah ke luar batas, itu sama saja kita merusak kepercayaan publik. Ini bukan sekadar soal tata kelola birokrasi, ini menyangkut marwah negara hukum kita,” tandasnya.
Yuddy menegaskan bahwa reformasi Polri adalah panggilan moral bersama, bukan hanya tugas Presiden atau DPR semata.
Ia mengajak seluruh elemen bangsa – pemerintah, legislatif, akademisi, hingga masyarakat sipil – untuk berdiri tegak membela prinsip-prinsip negara hukum.
“Reformasi Polri adalah amanat sejarah, amanat reformasi. Kita tidak boleh membiarkan penyimpangan ini menjadi norma baru. Ini tanggung jawab kita semua,” pungkasnya. (Sunarto/KBO Babel)