KBOBABEL.COM (Bangka Barat) — Suara mesin diesel menderu memecah kesunyian di kawasan Tambang Inkonvensional (TI) Tembelok, Bangka Barat. Di antara tenda biru dan genangan air keruh, para penambang bekerja sejak pagi hingga malam, mengayak pasir hitam demi butiran timah yang menjadi sumber kehidupan mereka. Namun, di balik hiruk-pikuk aktivitas tambang rakyat itu, muncul pertanyaan besar: siapa pengendali sebenarnya di balik aliran hasil tambang tersebut? Kamis (16/10/2025)
Berdasarkan penelusuran media, aktivitas tambang di wilayah Kranggan–Tembelok telah berlangsung sejak 8 Oktober 2025. Kegiatan ini dijalankan oleh kelompok masyarakat lokal tanpa struktur kepengurusan yang jelas. Nama-nama lama seperti Gopari dan Zulpan kembali muncul dalam pusaran isu kepemilikan dan pengendalian tambang tersebut, meski sebagian pihak enggan memberikan konfirmasi terbuka.
Dari hasil investigasi lanjutan, sumber terpercaya di lapangan membenarkan bahwa hasil tambang di Tembelok dan Keranggan dikendalikan oleh Zulpan, yang berperan sebagai kolektor utama atau pembeli langsung dari lokasi tambang. Mekanisme yang diterapkan disebut memberikan kompensasi sebesar 25 persen kepada warga setempat dari total hasil penambangan yang disetorkan setiap harinya.
“Yang ngambil hasilnya Zulpan, kompensasinya 25 persen untuk warga. Jadi warga masih dapat bagian,” ujar salah satu sumber yang enggan disebutkan namanya, Rabu (15/10/2025).
Sistem bagi hasil seperti ini bukanlah hal baru dalam praktik tambang rakyat di Bangka Belitung. Biasanya, pembeli atau kolektor menjadi perantara antara para penambang dan jaringan distribusi timah yang lebih besar. Namun, dalam kasus di Tembelok–Keranggan, struktur kepengurusan yang tidak jelas dan minimnya transparansi menimbulkan tanda tanya besar: apakah kompensasi benar-benar sampai ke seluruh warga yang terdampak?
Di lokasi tambang, aktivitas terus berlangsung tanpa jeda. Puluhan ponton berjejer di alur tambang, sementara kendaraan bak terbuka lalu-lalang membawa karung berisi pasir timah menuju titik penampungan. Beberapa warga di sekitar area tambang bahkan memanfaatkan situasi ini dengan membuka warung makan, kios bensin eceran, dan tempat istirahat bagi para penambang.
“Saya cuma panitia biasa di sini, pak. Sama seperti yang lain-lain juga. Kalau pembelinya banyak, di jalan menuju lokasi juga ada,” kata salah satu panitia lapangan.
Ketika ditanya apakah hasil timah tersebut dijual ke perusahaan resmi seperti PT Timah Tbk, pria itu hanya tersenyum kecil sebelum menjawab singkat, “Mungkin ke PT Timah lah, pak.”
Hingga kini, wilayah Tembelok telah menjelma menjadi salah satu pusat aktivitas tambang rakyat terbesar di Bangka Barat. Jalan tanah di sepanjang area tambang tampak padat kendaraan. Suara mesin diesel dan dentingan logam terdengar nyaring hingga malam hari. Namun, di tengah geliat ekonomi lokal itu, kejelasan hukum dan pengawasan negara masih lemah.
Salah seorang warga setempat mengaku tak tahu menahu soal struktur kepengurusan tambang, tapi ia mengakui aktivitas tersebut memberi penghasilan tambahan bagi masyarakat sekitar.
“Yang penting kami bisa kerja, bisa makan. Kalau berhenti, kami juga bingung mau kerja apa,” ujarnya sambil menatap ke arah jalan tambang yang dipenuhi truk.
Namun, di balik narasi ekonomi rakyat, fenomena ini juga menyingkap rapuhnya tata kelola pertambangan di Bangka Belitung. Tambang-tambang tanpa izin resmi terus bermunculan, melibatkan banyak pihak dengan kepentingan yang berlapis. Aparat sering kali menutup mata atau hanya melakukan tindakan sesaat tanpa tindak lanjut yang konsisten.
Sejumlah pengamat lingkungan menilai pola “kompensasi warga” yang diterapkan di lokasi tambang semacam Tembelok dan Keranggan justru memperkuat sistem informal yang mengaburkan batas antara tambang rakyat dan tambang ilegal.
“Ketika aktivitas itu dibiarkan dengan alasan ekonomi warga, maka yang terjadi adalah pembiaran hukum. Ujungnya, yang diuntungkan tetap segelintir orang yang punya modal dan jaringan,” ujar salah satu pemerhati lingkungan yang enggan disebutkan namanya.
Meski disebut-sebut memberikan 25 persen hasil tambang kepada warga, banyak pihak meragukan transparansi aliran dana tersebut. Tidak ada laporan resmi atau mekanisme pembagian yang terverifikasi. Bahkan beberapa warga mengaku belum pernah menerima kompensasi secara langsung.
“Katanya ada bagian untuk warga, tapi saya pribadi belum pernah dapat,” ucap warga lainnya di sekitar lokasi tambang.
Sementara itu, hingga berita ini diterbitkan, media masih berupaya menghubungi Zulpan, yang disebut-sebut sebagai pengendali utama aliran hasil tambang Tembelok–Keranggan, untuk meminta klarifikasi resmi. Namun, pesan dan panggilan telepon yang dikirimkan belum mendapatkan tanggapan.
Kegiatan tambang di Tembelok–Keranggan kini terus berjalan tanpa hambatan berarti, memperlihatkan lemahnya pengawasan serta ketidakpastian hukum atas pengelolaan sumber daya alam di daerah tersebut. Di tengah kabut debu dan gemuruh mesin tambang, satu pertanyaan besar masih menggantung: sampai kapan aktivitas ini akan terus dibiarkan tanpa kejelasan hukum dan tanggung jawab sosial yang pasti?. (Sumber : Babelku.com, Editor : KBO Babel)



















