KBOBABEL.COM (Jakarta) – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga tersangka dalam kasus korupsi terkait proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat bujur timur pada Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yang berlangsung dari tahun 2012 hingga 2021. Dalam kasus ini, total kerugian negara yang ditaksir mencapai sekitar Rp 300 miliar. Kamis (8/5/2025)
“Untuk kerugian negara di rupiahkan sekitar 300 miliar kalau kala itu Rp 15 ribu kurang lebih 1 dolar,” ungkap Direktur Penindakan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer (Jampidmil), Brigjen Andi Suci, dalam keterangan pers pada Kamis (8/5/2025).
Proyek ini bermula ketika Kemenhan melakukan kontrak dengan pihak ketiga untuk penyediaan terminal pengguna jasa serta peralatan terkait. Kejagung menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini, yaitu Laksamana Muda TNI (Purn) L yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), ATVDH sebagai perantara, dan GK sebagai CEO Navayo International AG. GK sendiri adalah seorang warga negara asing asal Hungaria.
“Ini warga negara Hungaria nanti pelaksanaan pemeriksaannya tetap dilaksanakan di sini (Indonesia), di sidang di sini (Indonesia), nanti secara lanjut tim penyidik nanti akan mengembangkan pemeriksaan itu,” jelas Andi mengenai status GK yang merupakan warga negara asing.
Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, menambahkan bahwa pihaknya sudah berkoordinasi dengan berbagai instansi untuk memanggil GK, salah satunya dengan Kementerian Luar Negeri.
“Sudah melakukan upaya-upaya pemanggilan terhadap yang bersangkutan, mudah-mudahan dengan kerjasama yang baik lintas Kementerian tentu pada waktunya nanti yang bersangkutan bisa memenuhi panggilan dari penyidik untuk dilakukan pemeriksaan,” harap Harli.
Menurut Kejagung, kasus ini berawal ketika pada Juli 2016, Kementerian Pertahanan Indonesia melalui L sebagai Pejabat Pembuat Komitmen menandatangani kontrak dengan GK dari Navayo International AG. Perjanjian yang disebut “Agreement For The Provision Of User Terminal And Related Service And Equipment” ini awalnya senilai USD 34.194.300 namun kemudian dikurangi menjadi USD 29.900.000.
“Bahwa penunjukan Navayo International AG sebagai pihak ketiga tanpa melalui proses pengadaan barang dan jasa, di mana Navayo International AG juga merupakan rekomendasi dari (tersangka) ATVDH,” jelas Andi.
Selanjutnya, Navayo International AG mengakui telah mengirimkan barang berupa perangkat kepada Kemenhan. Namun, proses ini sangat meragukan karena barang yang dikirim tersebut tidak pernah diperiksa terlebih dahulu. Bahkan, setelah barang tiba, empat surat Certificate of Performance (CoP) atau sertifikat kinerja atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh Navayo International AG ditandatangani tanpa dilakukan pengecekan terhadap barang yang diterima.
“Di mana CoP tersebut yang telah disiapkan oleh ATVDH tanpa dilakukan pengecekan terhadap barang yang dikirim terlebih dahulu. Pihak Navayo International AG melakukan penagihan kepada Kementerian Pertahanan Republik Indonesia dengan mengirimkan empat invoice (permintaan pembayaran dan CoP),” lanjut Andi.
Kasus ini menjadi lebih serius setelah Kementerian Pertahanan Indonesia pada tahun 2019 tidak memiliki anggaran untuk pengadaan satelit. Sebagai tindak lanjut, dilakukan pemeriksaan terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Navayo International AG oleh para ahli satelit Indonesia yang diminta oleh penyidik Jampidmil.
Hasil pemeriksaan tersebut menyatakan bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh Navayo International AG ternyata tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Salah satu temuan penting dari pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa dari 550 unit handphone yang dikirimkan, tidak ditemukan secure chip yang seharusnya menjadi inti dari pekerjaan user terminal. Selain itu, pekerjaan terhadap user terminal yang dilakukan oleh Navayo International AG juga tidak pernah diuji terhadap satelit Artemis yang seharusnya berada di slot orbit 1230 BT. Semua barang yang dikirim oleh Navayo International AG juga tidak pernah dibuka dan diperiksa.
“Barang-barang yang dikirim Navayo International AG tidak pernah dibuka dan diperiksa,” tegas Andi.
Sebagai akibat dari kesalahan tersebut, Kementerian Pertahanan Republik Indonesia harus membayar sejumlah USD 20.862.822 berdasarkan keputusan Putusan Arbitrase Singapura. Pembayaran ini dilakukan setelah Kementerian Pertahanan menandatangani Certificate of Performance (CoP), meskipun pekerjaan yang dilakukan tidak memenuhi standar yang seharusnya. Berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Navayo International AG berdasarkan nilai kepabeanan tercatat sebesar IDR 1,92 miliar.
Untuk memenuhi kewajiban pembayaran tersebut, Kementerian Pertahanan Indonesia juga terpaksa melakukan penyitaan terhadap beberapa properti, termasuk Wisma Wakil Kepala Perwakilan Republik Indonesia dan rumah dinas di Paris. Proses penyitaan ini dilakukan oleh Juru Sita (Commissaires de justice) Paris sebagai bagian dari pengesahan Putusan Tribunal Arbitrase Singapura pada 22 April 2021.
“Untuk memenuhi kewajiban pembayaran sejumlah USD 20.862.822 berdasarkan Final Award Putusan Arbitrase Singapura dan permohonan penyitaan Wisma Wakil Kepala Perwakilan Republik Indonesia, rumah dinas Atase Pertahanan dan rumah dinas (apartemen) Koordinator Fungsi Politik KBRI di Paris oleh Juru Sita (Commissaires de justice) Paris terhadap Putusan Pengadilan Paris yang mengesahkan Putusan Tribunal Arbitrase Singapura tanggal 22 April 2021 yang dimohonkan oleh Navayo International AG atas putusan Arbitrase International Commercial Court (ICC) Singapura,” ungkap Andi.
Kejagung kemudian menetapkan ketiga tersangka, yang akan dijerat dengan pasal tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal yang disangkakan kepada mereka adalah Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 ayat 1 kesatu juncto Pasal 64 KUHP.
Tersangka juga dikenakan pasal subsidiar yakni Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 ayat 1 kesatu juncto Pasal 64 KUHP.
“Lebih subsider Pasal 8 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu juncto Pasal 64 KUHP,” tutup Andi Suci.
(Sumber: Detikcom, Editor: KBO Babel)