KBOBABEL.COM (JAKARTA) — Ekspor timah Indonesia mengalami penurunan tajam pada Oktober 2025 setelah pemerintah menertibkan ribuan tambang ilegal di Bangka Belitung. Data resmi menunjukkan bahwa penurunan ini merupakan yang terdalam dalam dua tahun terakhir, dengan dampak signifikan terhadap produksi timah rakyat yang selama ini menjadi tulang punggung pasokan ke industri peleburan nasional. Kamis (13/11/2025)
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, ekspor timah olahan Indonesia pada Oktober 2025 tercatat hanya 2.643,05 metrik ton, anjlok 53,89 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Jika dibandingkan dengan bulan September 2025, angka ekspor tersebut bahkan turun hingga 59,78 persen.
“Penurunan ekspor ini tidak lepas dari langkah pemerintah menertibkan sekitar seribu tambang ilegal di Bangka Belitung, yang selama ini menyuplai bahan baku timah mentah bagi banyak perusahaan peleburan,” ujar seorang pejabat di Kementerian Perdagangan, Kamis (13/11/2025).
Langkah tegas pemerintah ini dilakukan sebagai bagian dari kebijakan Presiden Prabowo Subianto untuk menata ulang tata kelola pertambangan nasional agar lebih berkelanjutan dan sesuai aturan hukum. Namun, kebijakan tersebut berdampak langsung terhadap para penambang rakyat yang menjadi bagian dari rantai pasok industri timah nasional.
Sebelum penertiban, ekspor timah olahan Indonesia mencapai 4.421 ton pada September 2025, turun 3,94 persen secara tahunan, namun masih tumbuh 40 persen dibanding bulan sebelumnya. Sementara pada Agustus 2025, ekspor hanya mencapai 3.227 ton, turun 50 persen dibandingkan tahun lalu dan 14,9 persen lebih rendah secara bulanan.
Ketua Umum Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI), Harwendro Adityo, mengonfirmasi bahwa penurunan ini tidak hanya disebabkan oleh kebijakan pemerintah, tetapi juga karena keterbatasan bahan baku dari tambang rakyat yang kini banyak berhenti beroperasi.
“Setiap bulan, sekitar 23 perusahaan mendapatkan persetujuan RKAB dan izin ekspor. Tapi setelah penertiban tambang ilegal, banyak perusahaan mengalami kesulitan bahan baku. Ini berdampak pada ekspor Oktober yang turun drastis,” ungkap Harwendro dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Selasa (11/11/2025) malam.
Meski terjadi penurunan pada Oktober, secara kumulatif ekspor timah dari Indonesia hingga akhir September 2025 masih mencapai 37.551 ton, atau sekitar 68 persen dari kuota ekspor nasional tahun ini yang ditetapkan sebesar 55.328 ton.
Menurut Harwendro, kinerja ekspor sepanjang triwulan ketiga 2025 masih menunjukkan peningkatan nilai transaksi dibanding tahun sebelumnya.
“Total nilai transaksi logam timah sampai dengan kuartal ketiga mencapai USD 1,16 miliar, naik sekitar 20 persen dibanding periode yang sama tahun 2024 yang hanya mencapai USD 922,1 juta,” jelasnya.
Ia menambahkan, kenaikan nilai ekspor tersebut juga didorong oleh kenaikan harga timah dunia yang kini stabil di kisaran USD 30.000–34.000 per ton.
“Harga yang tinggi ini sebetulnya bisa menjadi momentum untuk meningkatkan devisa, tapi masalahnya bahan bakunya menipis akibat penertiban tambang rakyat,” tambah Harwendro.
Sementara itu, pengamat ekonomi energi dan pertambangan dari Universitas Indonesia, Dr. Irfan Hidayat, menilai bahwa penurunan ekspor ini adalah konsekuensi jangka pendek dari kebijakan pembenahan sektor timah oleh pemerintah.
“Langkah Presiden Prabowo menutup tambang ilegal memang menekan produksi rakyat, tapi ini bagian dari strategi besar untuk menata industri timah agar lebih transparan dan berkelanjutan,” ujar Irfan.
“Ke depan, tantangannya adalah bagaimana negara bisa mengalihkan penambang rakyat ke sistem yang legal dan terintegrasi dengan perusahaan peleburan resmi.”
Irfan menambahkan bahwa dalam jangka menengah, reformasi tambang rakyat justru bisa menciptakan industri timah yang lebih sehat.
“Kalau pengawasan diperkuat dan izin dipermudah, produksi akan stabil kembali dalam 6–12 bulan ke depan,” katanya.
Indonesia selama ini dikenal sebagai produsen timah terbesar kedua di dunia setelah China, dengan kontribusi sekitar 21 persen dari produksi global. Sebagian besar produksi berasal dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang memiliki cadangan timah terbesar di Asia Tenggara.
Namun, sejak bertahun-tahun lalu, penambangan rakyat tanpa izin atau tambang ilegal menjadi persoalan serius di wilayah tersebut. Selain merusak lingkungan, aktivitas ilegal juga mempersulit pengawasan rantai pasok dan memunculkan praktik-praktik perdagangan gelap yang merugikan negara.
Dengan penertiban besar-besaran oleh pemerintah pusat, banyak pelaku tambang rakyat kini berhenti beroperasi. Pemerintah tengah menyiapkan skema baru agar mereka dapat bergabung dalam koperasi resmi yang terhubung langsung dengan perusahaan pemegang izin tambang (IUP) serta BUMN pertambangan seperti PT Timah Tbk.
“Ini bukan akhir dari tambang rakyat, tapi awal dari sistem pertambangan yang lebih adil dan legal,” tutup Irfan.
Penurunan ekspor timah Oktober menjadi sinyal penting bagi pemerintah untuk segera menyeimbangkan antara penegakan hukum dan keberlanjutan ekonomi rakyat di sektor strategis ini. (Sumber : wowbabel, Editor : KBO Babel)



















