KBOBABEL.COM (JAKARTA) — Nama YouTuber Ferry Irwandi kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, bukan karena konten kreatif atau proyek media yang ia gagas, melainkan karena laporan dari sejumlah jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI) atas dugaan pencemaran nama baik institusi. Kasus ini pun berkembang menjadi perbincangan serius, bukan hanya di kalangan militer, tetapi juga publik yang menyoroti batas kebebasan berekspresi dan konsekuensinya. Rabu (10/9/2025)
Sejumlah perwira TNI enggan menjelaskan detail perkara pencemaran nama baik tersebut. Namun, dugaan kuat mengarah pada video yang ditunjukkan Ferry saat diskusi di salah satu televisi nasional. Dalam tayangan itu, Ferry menunjukkan cuplikan video yang memperlihatkan polisi menangkap perusuh dengan kartu anggota TNI.
“Di situ jelasnya, ya orang yang punya name tag ikut merusuh,” kata Ferry.
“Kapolri-kapolri ikut rusuh ini, saya laporan Panglima TNI” ujar polisi.
“Terus orangnya bilang, ‘bukan cuma saya pak, kata orang TNI ini’,” tambah Ferry.
Pernyataan tersebut sontak menuai polemik. Sejumlah warganet mempertanyakan mengapa Ferry menambahkan kalimat “bukan cuma saya pak, kata orang TNI” yang dinilai tidak terdapat dalam video asli. Bagi sebagian pihak, tambahan kalimat itu menyudutkan TNI seolah-olah tentara menjadi bagian dari orkestrasi kerusuhan.
Purnawirawan TNI Laksamana Madya (Purn) Soleman Ponto turut angkat suara dan menggugat kesimpulan Ferry. Menurutnya, Ferry salah menafsirkan ucapan dalam video.
“Karena yang disebut di sana itu ‘Kaveleri Kaveleri (bukan Kapolri) ikut rusuh di Palembang’,” jelas Ponto.
Ia menegaskan, dalam tayangan itu juga tidak disebut kata “perusuh”, melainkan “rusuh”. Menurutnya, kedua kata tersebut berbeda makna dan tidak bisa dipertukarkan begitu saja.
“Pernyataan Ferry sebagai bentuk provokasi yang berpotensi merusak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan merusak citra TNI sebagai institusi,” ucap Ponto dilansir Antara.
Ponto pun mendorong aparat penegak hukum (APH) untuk segera mengambil tindakan tegas atas pernyataan Ferry.
“Ini guna menjaga wibawa TNI, keamanan nasional, dan persatuan nasional,” tegasnya.
Konsultasi TNI ke Polda Metro Jaya
Sejumlah perwira TNI kemudian mendatangi Polda Metro Jaya pada Senin (8/9/2025). Kedatangan mereka bertujuan untuk berkonsultasi mengenai dugaan tindak pidana yang dilakukan Ferry Irwandi. Pasalnya, hasil temuan patroli siber yang dilakukan TNI mendeteksi adanya dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan CEO Malaka Project tersebut.
Wakil Direktur Reserse Siber Polda Metro Jaya, AKBP Fian Yunus, membenarkan adanya konsultasi tersebut. Ia menjelaskan bahwa TNI menyampaikan dugaan tindak pidana pencemaran nama baik yang dilakukan Ferry. Namun, pihak kepolisian memberikan penjelasan terkait mekanisme pelaporan sesuai aturan hukum yang berlaku.
“Kami sampaikan, kan menurut putusan MK, institusi kan enggak bisa melaporkan. Harus pribadi kalau pencemaran nama baik,” kata Fian, Selasa (9/9/2025).
Dengan demikian, meskipun yang dirugikan adalah institusi negara, laporan hanya bisa dilakukan secara pribadi oleh individu yang merasa namanya dicemarkan.
“Dalam konsultasi itu, Ferry diduga melakukan pencemaran nama baik. Pihak yang dicemarkan nama baiknya adalah institusi negara,” lanjut Fian.
Analisis Politik: Stop Provokasi
Kasus ini kemudian mendapat perhatian dari kalangan akademisi dan pengamat politik. Analis politik Boni Hargens mengingatkan pentingnya menghentikan provokasi yang menuding Tentara Nasional Indonesia (TNI) menciptakan darurat militer. Ia menegaskan bahwa TNI kini sudah bersifat profesional dan matang dalam berdemokrasi.
“TNI kita sudah belajar dari masa lalu. Mereka sudah matang dalam berdemokrasi,” ujar Boni dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (9/9/2025).
Boni menegaskan, sejak Indonesia merdeka pada 1945, tidak ada satu pun peristiwa yang menunjukkan TNI melakukan kudeta politik. Bahkan, ia mengutip peristiwa 1952 saat mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Besar (Purn) Abdul Haris Nasution dan pasukannya melakukan manuver di depan Istana Presiden Soekarno. Menurut pengamat asing, hal itu dianggap percobaan kudeta. Namun, Boni menyatakan hal tersebut bukanlah kudeta seperti di Thailand, Filipina, atau Myanmar.
“Itu hanya bentuk pernyataan sikap kecewa TNI melihat korupsi politik di parlemen yang begitu marak dan menyengsarakan rakyat,” jelasnya.
Lebih lanjut, Boni tidak menampik adanya kelompok penumpang gelap yang memanfaatkan aksi massa hingga berujung ricuh pada akhir Agustus 2025 lalu. Namun, ia menolak keras tudingan bahwa TNI terlibat dalam peristiwa tersebut.
“Selain tidak benar, tudingan Ferry itu bentuk provokasi yang serius. Komunitas intelijen perlu mendalami tudingan itu dengan pengumpulan informasi yang objektif dan menyeluruh,” tutur dia. (Sumber: Republik.com, Editor: KBO Babel)