KBOBABEL.COM (JAKARTA) – Kejaksaan Agung (Kejagung) memberikan penjelasan terkait alasan Jaksa Pengacara Negara (JPN) ditunjuk sebagai kuasa hukum Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam gugatan perdata senilai Rp125 triliun di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Gugatan yang diajukan oleh advokat HM Subhan tersebut mempersoalkan keabsahan pencalonan Gibran sebagai Wakil Presiden RI periode 2024–2029. Rabu (10/9/2025)
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, mengonfirmasi bahwa Jaksa Pengacara Negara hadir di PN Jakarta Pusat pada Senin (8/9/2025) mewakili Gibran. Menurut Anang, penunjukan tersebut sah secara hukum karena Kejagung telah menerima surat kuasa khusus dari Wakil Presiden.
“Jaksa Agung sudah mendapatkan surat kuasa khusus dari wapres. Maka menjadi kewenangan Jaksa Pengacara Negara (JPN),” kata Anang saat dikonfirmasi, Senin (8/9/2025).
Gugatan Rp125 Triliun
Gugatan perdata ini diajukan oleh advokat HM Subhan, yang juga dikenal dengan nama Subhan Palal. Dalam gugatannya, ia menilai Gibran tidak memenuhi syarat pendidikan sebagai calon wakil presiden, karena hanya lulusan SLTA/sederajat. Gugatan itu juga melibatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai tergugat II.
Dalam petitumnya, Subhan meminta majelis hakim menyatakan bahwa Gibran dan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum karena meloloskan pencalonan Gibran. Ia juga meminta agar Gibran dinyatakan tidak sah menjabat sebagai Wakil Presiden RI periode 2024–2029.
Lebih jauh, Subhan menuntut agar Gibran dan KPU dihukum secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada dirinya serta seluruh warga negara Indonesia sebesar Rp125 triliun. Dana tersebut, menurut Subhan, harus disetorkan ke kas negara.
“Selain itu, penggugat juga meminta majelis hakim menjatuhkan putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad), meskipun para tergugat mengajukan upaya hukum banding atau kasasi,” ujar Juru Bicara PN Jakarta Pusat, Sunoto, saat dikonfirmasi pada Rabu (3/9/2025).
Subhan turut menuntut agar Gibran dan KPU membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp100 juta setiap hari jika terlambat melaksanakan putusan pengadilan.
Perdebatan di Persidangan
Sidang perdana digelar di PN Jakarta Pusat pada Senin (8/9/2025) dengan agenda pemeriksaan legal standing penggugat maupun tergugat. Dalam sidang tersebut, JPN hadir sebagai kuasa hukum Gibran. Namun, keberadaan JPN sempat dipersoalkan oleh penggugat.
“Saya menggugat Gibran pribadi, kalau dikuasakan jaksa berarti negara,” ucap Subhan di hadapan majelis hakim.
Pernyataan tersebut menimbulkan perdebatan. Majelis hakim kemudian memutuskan mengembalikan surat kuasa yang diberikan Gibran kepada Jaksa Pengacara Negara. Setelah itu, perwakilan JPN meninggalkan ruang sidang tanpa memberikan komentar kepada awak media.
Ketua Majelis Hakim, Budi Prayitno, akhirnya menunda sidang untuk memberikan kesempatan pemanggilan ulang tergugat I.
“Sidang ditunda untuk perintah pemanggilan TI (tergugat I),” ucapnya.
Sementara itu, KPU selaku tergugat II hadir melalui kuasa hukumnya dan menjalani pemeriksaan legal standing sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata.
Alasan Keterlibatan Jaksa Pengacara Negara
Menurut Kejagung, keterlibatan JPN bukan tanpa dasar hukum. Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Presiden RI, Gibran memperoleh hak untuk didampingi Jaksa Pengacara Negara dalam perkara hukum tertentu. Anang menegaskan bahwa JPN berwenang memberikan bantuan hukum, baik litigasi maupun non-litigasi, kepada pejabat negara ketika digugat dalam kapasitas jabatannya.
“Karena yang digugat adalah wapres, maka secara formal surat kuasa diberikan kepada Jaksa Agung untuk diteruskan ke Jaksa Pengacara Negara,” ujar Anang.
Namun, perdebatan muncul karena penggugat menilai gugatan diajukan kepada Gibran sebagai pribadi, bukan dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu fokus pemeriksaan legal standing di pengadilan.
Dinamika Gugatan
Kasus ini menambah deretan polemik hukum yang menyangkut proses pencalonan Gibran sebagai Wakil Presiden. Sebelumnya, pencalonan Gibran sempat menuai kontroversi lantaran adanya perubahan syarat batas usia dalam Pemilu 2024 melalui putusan Mahkamah Konstitusi. Kini, gugatan Rp125 triliun kembali menguji legitimasi posisi Gibran sebagai wapres.
Penggugat berargumen bahwa syarat pendidikan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan tidak terpenuhi. Sementara itu, KPU bersikukuh bahwa pencalonan Gibran telah sesuai dengan aturan yang berlaku dan telah mendapat pengesahan dari lembaga berwenang.
Ancaman Hukum Besar
Jika gugatan Subhan dikabulkan, konsekuensinya sangat besar. Tidak hanya menyangkut legitimasi jabatan Wakil Presiden, tetapi juga terkait dengan ganti rugi fantastis Rp125 triliun. Meski begitu, sejumlah pakar hukum menilai petitum gugatan yang meminta ganti rugi sebesar itu sulit diterima secara logika hukum.
“Gugatan ini lebih bersifat politis ketimbang realistis. Besaran Rp125 triliun dan diminta tanggung renteng ke kas negara adalah sesuatu yang sulit dipertanggungjawabkan dalam konteks perdata,” ujar salah seorang pengamat hukum tata negara.
Sidang Lanjutan
Sidang berikutnya dijadwalkan setelah majelis hakim menginstruksikan pemanggilan ulang tergugat I, yakni Gibran Rakabuming Raka. Hingga saat ini, pihak Gibran maupun kuasa hukum dari JPN belum memberikan keterangan resmi kepada publik pasca-penundaan sidang.
Kejagung menegaskan akan tetap mengikuti perkembangan perkara ini sesuai aturan hukum yang berlaku.
“Kami menunggu putusan majelis hakim terkait legal standing dan kelanjutan perkara. Pada prinsipnya, JPN bekerja berdasarkan surat kuasa khusus yang diberikan oleh Wapres,” kata Anang.
Kasus ini diperkirakan akan menarik perhatian publik mengingat melibatkan orang nomor dua di Indonesia serta menyangkut jumlah gugatan yang sangat fantastis. Bagaimanapun, sidang-sidang selanjutnya akan menjadi ajang pembuktian antara penggugat dan tergugat mengenai sah atau tidaknya pencalonan dan jabatan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. (Sumber : Tempo, Editor : KBO Babel)