KBOBABEL.COM (Jakarta) – Grup Facebook dengan nama “Fantasi Sedarah” dan “Suka Duka” menjadi sorotan publik belakangan ini. Grup tersebut menciptakan keresahan masyarakat karena memuat konten inses atau hubungan seksual antar anggota keluarga yang dianggap melanggar norma hukum, agama, maupun sosial. Aktivitas dalam grup ini tidak hanya mengejutkan tetapi juga memicu kemarahan warganet, yang mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan tegas. Jumat (16/5/2025)
Konten Vulgar di Grup Fantasi Sedarah
Di dalam grup tersebut, anggota mengunggah konten yang bersifat seksual terhadap anggota keluarga mereka, seperti kakak, adik, ibu kandung, bahkan anak kandung sendiri. Salah satu unggahan viral menunjukkan seorang anggota mengunggah foto anaknya dengan keterangan yang sangat vulgar dan tidak pantas.
Fenomena ini membuat warganet bereaksi keras, mengutuk perilaku menyimpang tersebut dan meminta langkah cepat dari pihak berwenang. Grup ini tidak hanya menjadi tempat untuk memfasilitasi perilaku inses, tetapi juga mengarah pada indikasi pedofilia, yang melibatkan anak-anak sebagai korban.
Seruan Warganet untuk Melaporkan Grup
Dalam setiap diskusi terkait grup ini di media sosial, warganet secara konsisten mendesak tindakan hukum terhadap para pelaku. Selain itu, mereka juga menyerukan agar grup tersebut segera dilaporkan untuk dihapus dari platform Facebook.
“GUYSS PLEASE REPORT GRUP INI JUGA!! SUMPAH NAJISS BANGET. Pas aku scroll ke bawah isinya 11 12 sama grup ‘Fantasi Sedarah’, aku ga tau itu grup ganti nama atau emang ini grup lain. Soalnya pas cek grup ‘Fantasi Sedarah’ udah ga ada,” tulis salah satu pengguna X yang mengangkat kasus ini.
Seruan ini mendorong banyak pengguna media sosial untuk melaporkan grup tersebut, dengan harapan platform digital bertindak tegas menghapus konten maupun komunitas yang memuat kekerasan seksual, inses, dan pedofilia.
Inses dan Kekerasan Seksual
Secara definisi, inses adalah hubungan seksual antar anggota keluarga dekat. Menurut laman Navigate Health UK, inses tergolong sebagai bentuk kekerasan seksual atau pelecehan seksual intrafamilial. Baik dalam bentuk hubungan konsensual maupun non-konsensual antara orang dewasa yang memiliki hubungan darah atau keluarga dekat, inses melanggar norma sosial dan hukum di banyak negara.
Hipotesis Westermarck, yang dirumuskan pada 1891, menyatakan bahwa manusia secara alami cenderung mengembangkan rasa keengganan seksual terhadap individu yang tinggal dekat dengan mereka sejak masa kanak-kanak. Namun, dalam banyak kasus kekerasan seksual berbasis inses, keengganan ini sering kali dihilangkan oleh faktor manipulasi dan dominasi oleh pelaku.
Banyak negara, termasuk Indonesia, memiliki undang-undang yang melarang inses untuk melindungi anak-anak hingga usia 18 tahun dari segala bentuk eksploitasi seksual. Pelaku inses dapat dikenai hukuman pidana berat, terutama jika melibatkan anak di bawah umur.
Data Kekerasan Seksual Dalam Keluarga
Rifka Annisa Women Crisis Center turut menyoroti kasus ini melalui sebuah posting di X. Mereka mengungkapkan bahwa fenomena grup seperti “Fantasi Sedarah” menjadi refleksi bahwa rumah tidak selalu menjadi tempat aman bagi anak-anak.
Menurut data Rifka Annisa, pada tahun 2024, sebanyak 78 persen kasus kekerasan seksual dilakukan oleh anggota keluarga, seperti ayah kandung, mantan suami, atau sepupu, serta pasangan seperti suami atau pacar. Para pelaku sering kali menggunakan kedekatan dan posisi mereka untuk mengontrol korban, melalui ancaman, manipulasi, atau paksaan.
“Kekerasan seksual itu soal dominasi kuasa, bukan soal korban ‘menggoda’. Di situ, pelaku memaksakan kehendak karena merasa punya kuasa, sebagai orang tua, pasangan, sebagai orang yang ‘berhak’. Dan saat kita menyalahkan korban, kita sedang melanggengkan kuasa itu,” tulis Rifka dalam salah satu unggahannya di X.
Desakan Transparansi dan Tanggung Jawab Platform Digital
Selain mengkritik para pelaku, Rifka Annisa dan warganet juga mendesak platform seperti Facebook untuk lebih bertanggung jawab dalam mengawasi konten dan komunitas di ruang digital. Grup seperti “Fantasi Sedarah” dinilai memanfaatkan kelonggaran sistem moderasi untuk menyebarkan konten yang berbahaya dan melanggar hukum.
Facebook dan platform lainnya diharapkan dapat menyediakan sistem pelaporan yang mudah digunakan, transparan, dan berpihak pada korban. Selain itu, platform digital diharapkan bertindak cepat terhadap laporan terkait kekerasan seksual, inses, maupun pedofilia, tanpa harus menunggu kasus tersebut viral terlebih dahulu.
“Kami mendesak Facebook dan semua platform digital untuk punya tanggung jawab memastikan ruang digital tidak jadi tempat aman bagi pelaku kekerasan. Bangun sistem pelaporan dan pemantauan yang berpihak korban, transparan, serta cepat bertindak, bukan hanya saat sudah viral,” tulis Rifka di X.
Langkah yang Perlu Dilakukan
Kasus ini mencerminkan kebutuhan mendesak akan penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku kekerasan seksual dan penyediaan mekanisme perlindungan yang lebih baik bagi korban. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan platform digital menjadi kunci untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan.
Melalui pelaporan kolektif oleh warganet, grup seperti “Fantasi Sedarah” dapat segera dihentikan aktivitasnya. Namun, penutupan grup saja tidak cukup. Para pelaku yang tergabung di dalamnya harus diusut tuntas dan dihukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Fenomena ini juga menuntut edukasi masyarakat tentang bahaya kekerasan seksual, khususnya dalam lingkungan keluarga, untuk memutus rantai kekerasan. Dukungan kepada korban, baik secara psikologis maupun hukum, harus menjadi prioritas agar mereka berani bersuara dan mendapatkan keadilan.
Dengan kerja sama yang kuat antara semua pihak, ruang digital dapat menjadi tempat yang lebih aman bagi semua pengguna, khususnya anak-anak dan kelompok rentan. (Sumber: Tirto.id, Editor: KBO Babel)