KBOBABEL.COM (Palembang) – Polemik hukum atas dugaan korupsi dan penyerobotan lahan negara seluas 5.974,90 hektare di Kabupaten Musi Rawas memasuki babak baru. Tim kuasa hukum lima terdakwa yang kini sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Palembang mengajukan hak jawab atas berbagai pemberitaan yang dinilai tidak berimbang dan cenderung menyudutkan klien mereka. Rabu (6/8/2025).
Dr. Muhamad Adystia Sunggara, S.H., M.H., M.Kn, dari Kantor Advokat & Kurator Dr. Adystia Sunggara & Associates, menyampaikan bahwa informasi yang beredar di sejumlah media telah menyimpang dari fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan pada 4 Agustus 2025.
Kelima terdakwa dalam kasus ini adalah:
RM, Bupati Musi Rawas periode 2005–2015
ES, Direktur PT. DAM tahun 2010
SAI, Kepala BPMPTP Musi Rawas periode 2008–2013
AM, Sekretaris BPMPTP periode 2008–2011
BA, Kepala Desa Mulyoharjo tahun 2010–2016
Menurut Adystia, tuduhan bahwa para terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi dan penyerobotan lahan negara terlalu prematur dan belum memiliki dasar hukum yang kuat.
Pasalnya, hingga saat ini, majelis hakim belum mengeluarkan putusan, dan proses persidangan masih dalam tahap pemeriksaan saksi.
“Tidak ada satu pun bukti konkret yang menunjukkan adanya kerugian negara, apalagi yang mengarah langsung ke kelima terdakwa,” ujar Adystia.
Fakta menarik dalam persidangan adalah bahwa dari 15 saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), beberapa mencabut atau mengubah Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Alasannya pun cukup serius: mulai dari tekanan dalam proses pemeriksaan, kondisi kelelahan saat diperiksa di malam hari, hingga pengakuan bahwa isi BAP tidak sesuai dengan kenyataan.
Bahkan majelis hakim pun menyampaikan bahwa terdapat BAP yang ditandatangani tidak sesuai dengan fakta, yang menunjukkan adanya indikasi cacat dalam proses penyidikan.
Kejanggalan ini, menurut kuasa hukum, bisa berdampak serius pada status hukum terdakwa dan berpotensi menjadi preseden buruk dalam proses penegakan hukum.
Salah satu terdakwa, ES, yang kala itu hanya menjabat sebagai Kuasa Direktur selama 6 bulan di tahun 2010, dinilai dijadikan kambing hitam dalam perkara yang semestinya menjadi tanggung jawab struktural korporasi, bukan perorangan yang hanya menjalankan tugas operasional terbatas.
“Pertanyaannya, mengapa direksi utama seperti Karli Boenjamin dan para pemilik saham, termasuk investor asing dari Malaysia yang menjadi pemegang manfaat utama (beneficial owners) dari PT. DAM, tidak disentuh sama sekali dalam penyidikan? Apakah ini penegakan hukum yang adil?” tanya Adystia.
Dalam sistem hukum korporasi modern, pertanggungjawaban pidana seharusnya tidak berhenti pada pelaksana operasional semata, melainkan juga menyasar pada pemberi kuasa dan pihak yang memperoleh keuntungan paling besar dari tindakan korporasi tersebut.
Lebih lanjut, majelis hakim sempat menyatakan akan memanggil para direksi dan pemilik PT. DAM. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada kepastian kapan para pihak tersebut akan dihadirkan di persidangan, menimbulkan keraguan akan obyektivitas proses hukum yang sedang berjalan.
Situasi ini mendorong kuasa hukum untuk melontarkan satu pertanyaan krusial kepada publik: “Apakah ini bentuk kriminalisasi hukum?”
Ketika proses hukum hanya menyasar pihak-pihak tertentu dan mengabaikan aktor utama yang diduga paling bertanggung jawab, maka hal tersebut telah melenceng dari prinsip keadilan. Proses penegakan hukum yang tidak menyeluruh dan tidak proporsional rentan digunakan sebagai alat kekuasaan, bukan sarana mencari kebenaran dan keadilan substantif.
Adystia juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk tetap mengedepankan asas *praduga tak bersalah* dan tidak memberikan vonis moral kepada para terdakwa sebelum ada putusan hukum yang berkekuatan tetap.
“Keadilan sejati bukan semata-mata tentang menghukum seseorang, melainkan memastikan bahwa proses hukum berjalan benar, jujur, transparan, dan tidak menjadi alat pembunuhan karakter,” tambahnya.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi penegak hukum dan media massa agar tidak terburu-buru menghakimi atau membangun opini publik yang mengarah pada pembentukan stigma negatif terhadap seseorang sebelum melalui mekanisme hukum yang sah.
Kuasa hukum juga menyampaikan harapannya agar majelis hakim benar-benar mempertimbangkan fakta-fakta di persidangan dalam mengambil keputusan. Sebab, menurut mereka, hingga kini tidak ditemukan bukti kuat yang mendasari tuduhan terhadap para terdakwa.
“Kami percaya, jika persidangan ini dikawal secara objektif, para terdakwa akan mendapatkan keadilan yang sesungguhnya,” pungkas Adystia. (KBO Babel)