KBOBABEL.COM (Jakarta) – Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyingkap praktik pemerasan yang dilakukan Gubernur Riau Abdul Wahid terhadap bawahan di Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (PUPR PKPP) Riau. Kejadian ini terungkap setelah Abdul Wahid menuntut “jatah preman” dari anak buahnya, yang diduga digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk lawatan ke tiga negara. amis (6/11/2025)
Dari hasil OTT, KPK menetapkan tiga tersangka, yakni Gubernur Riau Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR Riau M. Arief Setiawan, serta Tenaga Ahli Gubernur Riau Dani M. Nursalam.
Mereka dituduh melakukan pemerasan kepada pejabat di Dinas PUPR PKPP Riau, dengan modus meminta sejumlah fee dari anggaran proyek UPT Jalan dan Jembatan.
Kasus ini bermula pada Mei 2025, ketika Sekretaris Dinas PUPR Riau Ferry Yunanda mengadakan pertemuan dengan enam kepala UPT wilayah I-VI. Dalam pertemuan itu, Ferry dan kepala UPT membahas pemberian fee kepada Abdul Wahid sebesar 2,5 persen dari anggaran proyek yang sebelumnya Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar. Fee tersebut awalnya dilaporkan ke Kadis PUPR Riau Arief.
Namun, menurut Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, Arief yang bertindak mewakili Abdul Wahid menuntut fee lebih besar, yakni 5 persen atau sekitar Rp 7 miliar. Para pejabat di PUPR pun diduga melaksanakan permintaan ini karena terancam mutasi atau pencopotan dari jabatannya jika menolak. Ancaman ini kemudian dikenal di kalangan PUPR Riau sebagai “jatah preman.”
“Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” ujar Johanis Tanak dalam konferensi pers di gedung KPK, Jakarta Selatan.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan, dana yang dikumpulkan itu diduga dipakai Abdul Wahid untuk kepentingan pribadi, salah satunya untuk perjalanan ke luar negeri.
“Nah, untuk kegiatannya apa saja, ini macam-macam kegiatannya. Jadi, untuk keperluan yang bersangkutan. Makanya dikumpulinnya di tenaga ahlinya,” jelas Asep.
Abdul Wahid disebut berencana mengunjungi Inggris, Brasil, dan Malaysia, meski detail kegiatan politikus PKB tersebut tidak dijelaskan.
OTT KPK juga mengamankan sejumlah mata uang asing, seperti pound sterling dan dolar AS, dari rumah Abdul Wahid di kawasan Jakarta Selatan. Para tersangka dijerat Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kasus ini juga menyingkap arahan kontroversial Abdul Wahid sejak awal menjabat sebagai gubernur. Saat itu, ia mengumpulkan seluruh perangkat daerah, termasuk kepala unit pelaksanaan teknis (UPT) di PUPR.
Ia menyatakan semua bawahan harus “nurut satu matahari,” yakni tunduk sepenuhnya kepada gubernur. Kepala dinas disebut sebagai kepanjangan tangan gubernur, sehingga setiap perintah dari kepala dinas harus dipatuhi.
“Saat dikumpulkan itulah yang bersangkutan menyampaikan bahwa mataharinya adalah satu, semua harus tegak lurus pada mataharinya, artinya ada gubernur. Kepala dinas ini adalah kepanjangan tangan dari gubernur, sehingga apa pun yang disampaikan kepala dinas itu adalah perintah gubernur. Disampaikan demikian dan, kalau yang tidak ikut atau tidak nurut, akan dievaluasi,” kata Asep.
Lebih lanjut, Asep menyebut bahwa ancaman mutasi hingga pergantian jabatan dilakukan bila bawahan tak menuruti perintah. Beberapa bulan setelah ancaman tersebut, baru muncul permintaan uang melalui kepala dinas. Hal ini menunjukkan bahwa pemerasan dilakukan secara sistematis dan terencana.
KPK menegaskan, penindakan terhadap Abdul Wahid dan jajaran di PUPR Riau merupakan bagian dari upaya pemberantasan korupsi yang menyasar pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. (Sumber: Detikcom, Editor: KBO Babel)



















